Peristiwa teror di basecamp ini membuat perselisihan kecil di antara mereka. Meski akhirnya, pendakian tetap berlanjut hingga teror demi teror lain menimpa mereka.
Mulai dari Ita kesurupan hantu yang meminta mereka untuk "indit siah", hingga teror suara aneh yang memekakkan telinga mereka. Tapi ya mereka keras kepala dan nggak ada takut-takutnya untuk terus mendaki hingga puncak.
Ada satu karakter memang yang mengingatkan untuk turun setelah melewati berbagai teror. Dan itu sangat mewakili sudut pandang saya sebagai penonton, haha.
Dilema film adaptasi kisah nyata
Saya paham jika mereka memutuskan untuk turun gunung, film akan seketika berakhir. Jadi saya mengganggap hal tersebut bukan masalah yang besar. Justru petaka terbesar Petaka Gunung Gede adalah sumber terornya. Saya cukup kecewa ketika penyebab semua teror ini adalah ...., ah sudahlah, tonton sendiri di bioskop ya.
Makin kaget ketika tahu naskah film ini dibuat oleh Upi (Sehidup Semati, My Stupid Boss). Tapi ya memang begitulah ketika sebuah film yang diadaptasi dari cerita orang dengan embel-embel "kisah nyata". Terjebak antara memuaskan penggemar cerita aslinya atau berkreasi sebagaimana estetika film seharusnya.Â
Duet kombo Azhar Kinoi Lubis + Upi, seakan hanya mengalihwahanakan cerita Maiia ke audio visual, tanpa mengkreasikan logika cerita dan kesinambungannya. Asumsi saya ini semakin jelas ketika credit title, film menampilkan montase yang menyandingkan cerita Maiia saat podcast dengan cuplikan filmnya.
Kasarnya, yang penting sesuai dengan podcast ditambah gimik ada kejutan lain yang belum terungkap di podcast. Nggak sempat film ini memikirkan hal-hal logis yang mungkin banget terjadi pada pendaki pemula. Semisal ketidaktahuan medan pendakian, adaptasi kondisi tubuh dengan cuaca di gunung, hingga soal konflik antar karakter yang mungkin terjadi selama pendakian.
Sekadar informasi, Petaka Gunung Gede diadaptasi dari podcast Maiia Azka yang konon sudah ditonton lebih dari 17 juta penonton di YouTube. Banyak juga ya yang nonton podcast-nya.
Berakhir dengan rasa haru
Sejak awal film produksi Starvision ini lebih mengandalkan persahabatan Maya dan Ita, yang kebetulan naik gunung. Lagu "Sahabat Sejati" milik Sheila On 7 yang membuka film ini, sudah cukup kuat menjadi bukti bahwa film ini tentang persahabatan. Ditambah dengan lagu Sheila On 7 lainnya, "Sebuah Kisah Klasik", yang menjadi penutup film.
Untuk urusan ini, perlu saya acungi jempol permainan akting Arla dan Ashel. Mereka berhasil menampilkan chemistry yang pas, real, nggak berlebihan. Di banyak part ketika mereka on screen, berhasil membuat saya terharu dengan persahabatan mereka yang saling menguatkan. Meski tidak sampai pada tahap saya menitikkan air mata.