Nggak bisa dipungkiri, horor adalah genre yang paling konsisten nangkring di bioskop. Hampir tiap minggu selalu ada saja film horor Indonesia yang tayang. Para kreator pun perlu melakukan improvisasi agar film horor mereka nggak terkesan gitu-gitu saja. Walau faktanya memang demikian. Hehe.
Tahun 2025, kita sudah disuguhkan dua film horor yang bertema pendakian gunung. Yakni Eva: Pendakian Terakhir yang tayang pada 16 Januari 2025 dan Petaka Gunung Gede yang tayang sejak 6 Februari 2025. Judul yang saya sebut terakhir, kini masih wara-wiri di banyak bioskop dan telah berhasil mengumpulkan lebih dari 1 juta penonton.
Saya menduga karena judulnya menggunakan langsung nama tempat, sehingga respons penonton terhadap Petaka Gunung Gede jauh lebih baik daripada Eva: Pendakian Terakhir.
Keras kepalanya para pendaki pemula
Petaka Gunung Gede menyoroti dua orang sahabat yakni Maya (Arla Ailani) dan Ita (Adzana Ashel). Mereka tengah menikmati liburan sekolah dan hendak merencanakan sesuatu untuk mengisi liburan tersebut.
Suatu ketika Maya mendengar perbincangan kakak lelakinya bersama teman-temannya yang akan mendaki Gunung Gede, Jawa Barat. Maya pun merengek pengin ikut mendaki. Dengan satu syarat tertentu, akhirnya Maya diperbolehkan untuk ikut mendaki.
Rencana pendakian Maya, membuat Ita yang belum pernah mendaki gunung, tertarik untuk ikut. Dan herannya, sang ayah (Teuku Rifnu Wikana) yang biasanya tidak memperbolehkan Ita untuk bepergian jauh, kini tanpa basa-basi malah mengizinkan Ita naik gunung.
Film yang disutradarai Azhar Kinoi Lubis (Pengantin Setan, Pengantin Iblis) ini mengambil latar Jakarta tahun 2007. Sehingga, cukup make sense ketika para karakter berbincang soal jalur pendakian yang dipilih, mereka hanya bicara jalur Gunung Putri dan Cibodas.
Sebetulnya masih ada satu jalur lagi untuk naik ke Gunung Gede, yakni jalur Salabintana, Sukabumi. Tapi jalur ini termasuk ekstrem dan paling panjang di antara jalur lainnya, serta lebih jauh jika diakses dari Jakarta.
Berangkatlah mereka mendaki Gunung Gede lewat jalur yang dipilih.
Walau saya masih ragu, apakah itu memang beneran hantu penunggu basecamp seperti yang dikatakan teteh (Ruth Marini), atau hantu yang sedari awal sudah muncul di rumah Ita.
Peristiwa teror di basecamp ini membuat perselisihan kecil di antara mereka. Meski akhirnya, pendakian tetap berlanjut hingga teror demi teror lain menimpa mereka.
Mulai dari Ita kesurupan hantu yang meminta mereka untuk "indit siah", hingga teror suara aneh yang memekakkan telinga mereka. Tapi ya mereka keras kepala dan nggak ada takut-takutnya untuk terus mendaki hingga puncak.
Ada satu karakter memang yang mengingatkan untuk turun setelah melewati berbagai teror. Dan itu sangat mewakili sudut pandang saya sebagai penonton, haha.
Dilema film adaptasi kisah nyata
Saya paham jika mereka memutuskan untuk turun gunung, film akan seketika berakhir. Jadi saya mengganggap hal tersebut bukan masalah yang besar. Justru petaka terbesar Petaka Gunung Gede adalah sumber terornya. Saya cukup kecewa ketika penyebab semua teror ini adalah ...., ah sudahlah, tonton sendiri di bioskop ya.
Makin kaget ketika tahu naskah film ini dibuat oleh Upi (Sehidup Semati, My Stupid Boss). Tapi ya memang begitulah ketika sebuah film yang diadaptasi dari cerita orang dengan embel-embel "kisah nyata". Terjebak antara memuaskan penggemar cerita aslinya atau berkreasi sebagaimana estetika film seharusnya.Â
Duet kombo Azhar Kinoi Lubis + Upi, seakan hanya mengalihwahanakan cerita Maiia ke audio visual, tanpa mengkreasikan logika cerita dan kesinambungannya. Asumsi saya ini semakin jelas ketika credit title, film menampilkan montase yang menyandingkan cerita Maiia saat podcast dengan cuplikan filmnya.
Kasarnya, yang penting sesuai dengan podcast ditambah gimik ada kejutan lain yang belum terungkap di podcast. Nggak sempat film ini memikirkan hal-hal logis yang mungkin banget terjadi pada pendaki pemula. Semisal ketidaktahuan medan pendakian, adaptasi kondisi tubuh dengan cuaca di gunung, hingga soal konflik antar karakter yang mungkin terjadi selama pendakian.
Sekadar informasi, Petaka Gunung Gede diadaptasi dari podcast Maiia Azka yang konon sudah ditonton lebih dari 17 juta penonton di YouTube. Banyak juga ya yang nonton podcast-nya.
Berakhir dengan rasa haru
Sejak awal film produksi Starvision ini lebih mengandalkan persahabatan Maya dan Ita, yang kebetulan naik gunung. Lagu "Sahabat Sejati" milik Sheila On 7 yang membuka film ini, sudah cukup kuat menjadi bukti bahwa film ini tentang persahabatan. Ditambah dengan lagu Sheila On 7 lainnya, "Sebuah Kisah Klasik", yang menjadi penutup film.
Untuk urusan ini, perlu saya acungi jempol permainan akting Arla dan Ashel. Mereka berhasil menampilkan chemistry yang pas, real, nggak berlebihan. Di banyak part ketika mereka on screen, berhasil membuat saya terharu dengan persahabatan mereka yang saling menguatkan. Meski tidak sampai pada tahap saya menitikkan air mata.
Terlepas dari cerita yang sedikit berantakan, Petaka Gunung Gede masih nyaman dinikmati berkat visual yang menawan. Beberapa shot Gunung Gede tampak sangat indah karena film banyak melakukan syuting di tempat aslinya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI