Mohon tunggu...
Raja Lubis
Raja Lubis Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja Teks Komersial

Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi jurnalis dan entertainer namun malah tersesat di dunia informatika dan kini malah bekerja di perbankan. Ngeblog di rajalubis.com / rajasinema.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Kajian dan Mitigasi Guna Mengurangi Potensi Risiko Meninggalnya Petugas KPPS

19 Februari 2024   09:36 Diperbarui: 20 Februari 2024   08:00 860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karangan bunga untuk petugas KPPS yang meninggal dunia. (kompas.com/Xena Olivia)

Dalam syarat pendaftaran, calon petugas KPPS memang perlu menyerahkan surat keterangan sehat dari instansi kesehatan setempat. Tapi ya, rata-rata surat seperti ini terkesan formalitas belaka. Sama halnya seperti persyaratan melamar pekerjaan pada umumnya.

Pertanyaannya, apakah medical check-up dilakukan atau tidak dalam proses seleksi petugas KPPS? 

Jika memang tidak dilakukan, sebaiknya kita sendiri yang mengenali diri sendiri. Sekiranya memang memiliki penyakit yang berpotensi menyebabkan meninggal dunia, sebaiknya tidak perlu memaksakan diri untuk menjadi petugas KPPS. Atau kalau memang diperlukan, negara bisa menyiapkan anggaran untuk tes kesehatan calon petugas KPPS.

Selain soal kesehatan, persoalan penurunan batas usia maksimum petugas KPPS ini juga memberikan kesempatan kepada para genzi dan milenial untuk turut serta berpartisipasi aktif dalam pemilu.

Suasana pemilih menunggu antrean untuk nyoblos. (Dokumentasi pribadi Raja Lubis)
Suasana pemilih menunggu antrean untuk nyoblos. (Dokumentasi pribadi Raja Lubis)

2. Sebaiknya pemilihan umum tidak serentak

Sudah dua kali kita menyelenggarakan pemilihan umum presiden & wakil presiden, serentak dengan pemilihan legislatif. Menurut hemat saya, pemilu serentak ini menambah beban kerja petugas KPPS. 

Di 3 TPS dekat tempat tinggal saya, sampai dengan jam 11 malam, penghitungan suara masih dilakukan. Malah nggak jarang yang extend sampai pagi hari berikutnya.

Bayangkan saja, jika kehadiran pemilih di antara 200-250 orang per TPS, itu artinya ada 1000-1250 surat suara yang harus dihitung dengan teliti. Belum lagi dihantui dengan tugas-tugas administratif lainnya semisal rekap formulir C-1, memastikan surat suara siap diantar ke jenjang berikutnya, hingga penandatanganan berkas sebagai tanda selesainya pemungutan suara di TPS.

Melihat beban kerja yang begitu padat, saya merasa konsep Pemilu 2014 bisa digunakan kembali. Yakni memisahkan antara pemilihan umum presiden & wakil presiden dengan pemilu legislatif. 

Agar bebannya bisa setara terbagi dua, pemilihan umum presiden & wakil presiden bisa dibarengi dengan pemilihan DPD. Sementara DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dipaketkan dalam pemilihan yang terpisah.

Secara psikologi surat suara, pemisahan tersebut cukup koheren. Di Pemilu 2024 hanya Presiden & Wakil Presiden dan DPD yang surat suaranya menggunakan foto diri. Sementara DPR hanya menggunakan nama calon dan partai saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun