[caption id="attachment_78291" align="alignleft" width="300" caption="Kapal "][/caption]
J
eddah adalah kota pelabuhan yang terletak di tepi laut Merah, yang juga merupakan kota bisnis. Jeddah bukan kota suci sebagaimana Mekkah ataupun Madinah, sehingga di kota ini tidak ada tanah haram. Sebagai kota internasional, semua agama maupun bangsa leluasa berada di kota dengan aneka bangunan modern yang bukan pencakar langit. Kota Jeddah sangat indah dengan berbagai patung menghiasi sudut kota. Dari begitu banyak patung, tidak satupun berbentuk manusia ataupun hewan. Jangan berharap Anda bisa bertemu patung manusia baik ukuran kecil maupun besar, sebagaimana biasa kita jumpai di berbagai kota di tanah air. Tidak juga ada patung tokoh-tokoh kerajaan atau pahlawan Arab Saudi, apalagi patung polisi seperti yang banyak kita jumpai di kota-kota selain Jakarta. Tidak kalah menariknya, kota Jeddah banyak dihiasi perahu atau kapal kecil yang "didamparkan" di berbagai tempat. Kalau di Banda Aceh, Anda menemukan kapal nelayan yang terdampar akibat tsunami 2004, maka di Jeddah kapal seukuran itu banyak "terdampar" di berbagai tempat. Sudah pasti, kapal tersebut berada di sana, bukan karena tsunami, melainkan disengaja karena ada dudukannya. Fungsinya menjadi penghias kota.
[caption id="attachment_78293" align="aligncenter" width="300" caption="Mobil patung"]
Mau tahu denda yang harus dibayar? Sopir yang membawa kami dari Jeddah menuju Madina menyampaikan, denda itu mencapai 900 rial, atau Rp2.250.000 untuk satu kali pelanggaran batas kecepatan. Tentu saja Pak Polisi di sana tidak biasa diajak "damai" sehingga harus dibayar seluruhnya. Barangkali itu sebabnya, sopir kami tidak berani ngebut di jalan bebas hambatan yang mulus, dan lebar Jeddah-Madinah sejauh lebih dari 400km. Pak Sopir menjalankan mobilnya laksana "siput" dengan kecepatan 110 km perjam, 10 km lebih pelan dari kecepatan maksimal yang dibolehkan. Padahal, mobil yang kami tumpangi, Jip Nissan berkapasitas 4800 CC, yang kalau gasnya ditekan sedikit saja sudah ngacir secepat-cepatnya. Bandingkan dengan tol Cipularang, yang saya lalui setiap nglaju Jakarta-Bandung, umumnya pengemudi mengabaikan batas kecepatan maksimal 80 Km perjam, atau sebaliknya sangat lambat (bagi truk): di bawah kecepatan minimal 60 km perjam. Di tol Cipularang yang "sederhana" bila dibanding dengan jalan Jeddah-Madinah, orang-orang Jakarta atawa Bandung memacu mobil mereka lebih dari 120 Km perjam! Bagaimana dengan mobil korps diplomatik? Seorang diplomat yang baru saya kenal di Jeddah bercerita, mobil-mobil CD yang melanggar batas kecepatan tidak kena denda. Maklum, sesuai Konvensi Jenewa mereka memiliki kekebalan diplomatik. Namun, Polisi Arab Saudi tetap memberhentikan mobil mereka, lalu "memberitahu" bahwa kecepatan mobil melampaui 120 Km. Bila berkali-kali melanggar, Kementerian Luar Negeri Saudi "mempermalukan" dengan cara mengumumkan mobil-mobil negara sahabat yang melanggar batas kecepatan serta memanggil pejabat diplomatik ke kementerian luar negeri. Kata teman baru itu, diplomat Indonesia tidak ada yang melanggar batas kecepatan, sehingga tidak pernah berurusan dengan polisi lalulintas ataupun kemlu. Kalau tadi kita membahas soal ngebut di jalan raya, bagaiman pula dengan pengemis di Tanah Suci? Namanya juga orang susah, dimana-mana pasti ada, tetapi di Arab Saudi jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Pengemis itu meminta-minta di perempatan lampu merah, atau di pintu keluar parkir bangunan komersil. Bicara soal pengemis, entah kebetulan atau tidak, seperti di Jakarta yang memberlakukan aturan Gubernur Bowo: melarang warga memberi sedekah kepada pengemis yang banyak berkeliaran di seantero persimpangan jalan besar ibukota, pihak kerajaan Arab Saudi juga melarang penduduk memberikan sedekah ataupun sumbangan untuk peminta-minta. Jeddah, 31 Oktober 2010