Di dunia yang terus berkembang, ketika teknologi berkembang pesat dan wacana-wacana kritis bermunculan dari berbagai arah, ternyata masih banyak hal mendasar yang belum selesai kita benahi. Salah satunya adalah isu ketimpangan gender. Sangat ironis, ketika kita hidup dalam negara yang menjunjung tinggi asas keadilan dan kesetaraan, masih banyak sekali perempuan yang harus berjuang dua kali lebih keras hanya untuk mendapatkan hak yang sebenarnya sudah seharusnya setara.
Ketimpangan gender masih menjadi isu sosial yang sangat krusial di Indonesia. Meskipun negara menjamin hak yang sama bagi semua warga, pada kenyataannya perempuan masih sering menghadapi berbagai bentuk diskriminasi dalam pendidikan, pekerjaan, dan perlindungan hukum. Fenomena ini tidak hanya melanggar prinsip keadilan, tetapi juga mencerminkan krisis nilai dalam masyarakat. Oleh karena itu, Pancasila, sebagai pedoman moral dan sistem etika bangsa, harus digunakan sebagai cermin untuk menilai dan menanggapi ketimpangan gender. Melalui pemahaman dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila, ketimpangan gender dapat ditangani secara lebih komprehensif dan berkelanjutan.
Perbedaan Antara "Seks" dan "Gender"
Hal pertama yang perlu kita pahami adalah perbedaan antara seks dan gender. Orang-orang seringkali menganggap bahwa "seks" dan "gender" merupakan hal yang sama. Seks merujuk pada karakteristik biologis yang digunakan untuk mengelompokkan manusia ke dalam dua kategori jenis kelamin (Setiyowati, 2024). Sementara itu, gender adalah sesuatu yang dibentuk oleh masyarakat. Ia adalah konstruksi sosial yang membentuk bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya bertindak, berpikir, dan merasa (Setiyowati, 2024). Helen Tierney (dalam Setiyowati, 2024) menegaskan bahwa gender membedakan peran, perilaku, dan karakter emosional berdasarkan perkembangan sosial. Peran gender ditentukan oleh kondisi sosial dan budaya yang dapat berubah. Inilah yang membuat perempuan "diharapkan" lembut, patuh, atau mengurus rumah, sementara laki-laki "seharusnya" kuat, tegas, dan menjadi kepala rumah tangga. Padahal, peran-peran itu tidak ada hubungannya dengan kemampuan biologis. Gender bisa berubah, tergantung bagaimana masyarakat membentuknya Kurangnya pemahaman terkait pengertian gender menjadi salah satu penyebab penolakan dalam menerima analisis gender pada persoalan ketidakadilan sosial (Khoirunnisa., et al, 2024).
Kesetaraan gender tidak berarti laki-laki dan perempuan harus menjadi sama dalam segala hal, tapi bahwa keduanya punya hak, peluang, dan perlakuan yang adil dalam segala aspek kehidupan (Irawan dalam Khoirunnisa., et al, 2024). Semua orang berhak atas pendidikan, pekerjaan, akses kesehatan, dan ruang berpendapat, tanpa dibatasi oleh jenis kelamin. Konsep ini juga melawan pandangan bahwa laki-laki lebih unggul secara alamiah, dan menekankan bahwa perbedaan biologis bukan alasan untuk membatasi potensi seseorang. Sayangnya, banyak orang yang masih salah paham. Kesetaraan dianggap mengancam posisi laki-laki, padahal justru sebaliknya, kesetaraan gender membuat semua orang bisa tumbuh dalam lingkungan yang lebih adil dan saling mendukung.
Sejarah Ketimpangan Gender
Satu hal yang perlu diketahui, ketimpangan gender di Indonesia itu bukan suatu hal yang baru. Ia berakar dari sejarah panjang dan diperkuat oleh budaya patriarki yang masih kuat hingga saat ini. Pada masa penjajahan Belanda, perempuan Indonesia mengalami tekanan ganda karena harus menjalani peran sebagai ibu rumah tangga sekaligus pekerja, tanpa mendapatkan penghargaan atau imbalan atas pekerjaan domestik yang mereka lakukan (Soleman, 2023). Hal ini terjadi ketika orang-orang Belanda datang ke daerah Kerinci, Provinsi Jambi, Indonesia. Selain itu, bentuk perendahan martabat juga tampak dalam kekerasan seksual yang terang-terangan, seperti adanya praktik gundik dan nyai, di mana perempuan diperlakukan sebagai pelayan rumah tangga sekaligus objek pemuas nafsu seksual (Soleman, 2023). Lalu, ketika Jepang datang untuk menjajah Indonesia, situasinya memburuk, perlakuan terhadap perempuan menjadi lebih kejam. Ribuan perempuan Indonesia dipaksa menjadi Jugun Ianfu, di mana perempuan dipaksa dan dianiaya secara fisik, dan menjadi budak seks bagi tentara Jepang. Dan mayoritas perempuan yang menjadi budak seks itu diambil secara paksa dari keluarganya, dan mereka digolongkan berdasarkan kecantikannya (Soleman, 2023). Luka sejarah ini menjadi bukti bahwa perempuan telah lama ditempatkan sebagai "kelas dua".
Realitas Ketimpangan Gender Saat Ini
Ketimpangan gender pun masih hidup dalam bentuk yang lebih halus dalam kehidupan kita saat ini. Banyak perempuan di daerah terpencil yang harus putus sekolah karena dijodohkan sebelum usia 17 tahun (Vioni & Liansah dalam Soleman, 2023). Dalam beberapa budaya, seperti kawin tangkap (Piti Rambang) di Sumba yang masih berlaku hingga saat in, perempuan masih dianggap sebagai objek. Mereka bisa "ditangkap" dan dipaksa menikah, bahkan tanpa persetujuan (Soleman, 2023). Jika mereka melawan, justru mereka yang akan dicemooh. Secara hukum, kawin tangkap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang secara eksplisit menyatakan bahwa perkawinan harus ada persetujuan kedua belah pihak (Dewi, dalam Soleman, 2023).
Dalam dunia kerja, perempuan masih menerima upah yang lebih rendah dari laki-laki. Menurut World Economic Forum, pada tahun 2024 pendapatan perempuan diperkirakan hanya mencapai sekitar setengah dari pendapatan laki-laki. Bahkan pada tahun 2023, kesenjangan pendapatan antar gender masih tergolong besar, di mana setiap satu dolar yang diperoleh laki-laki, perempuan hanya menerima sekitar 51,9 sen (Rahmatillah, 2024). Menurut Economic Policy Institute, perempuan menerima upah yang lebih rendah dibandingkan laki-laki disebabkan oleh berbagai faktor seperti pemisahan jenis pekerjaan (segregasi kerja), rendahnya penghargaan terhadap pekerjaan yang biasa dilakukan perempuan, norma sosial yang bias, serta diskriminasi yang telah tertanam sejak lama, bahkan sebelum perempuan terlibat dalam dunia kerja. Meskipun telah menempuh jenjang pendidikan yang setara dengan laki-laki, perempuan tetap cenderung mendapatkan bayaran yang lebih rendah (Rahmatillah, 2024).
Pancasila sebagai Landasan Kesetaraan Gender