Mohon tunggu...
opiniku
opiniku Mohon Tunggu... Mahasiswa

Halo saya suka baca komik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Anak Hukum Dikhianati Oleh Hukumnya Sendiri

27 Mei 2025   22:30 Diperbarui: 27 Mei 2025   22:21 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Ketika Anak Hukum Dikhianati Oleh Hukumnya Sendiri, dan Anak Ekonomi Membeli Hukum”

Ada sebuah ironi yang sedang dipertontonkan di depan mata kita: seseorang yang belajar tentang keadilan justru tidak mendapatkannya, sementara seseorang yang memahami ekonomi justru mampu membeli sistem hukum yang seharusnya berdiri netral.

Kasus tragis yang baru-baru ini terjadi di lingkungan akademik universitas ternama menyentil kesadaran kita akan realitas hukum di negeri ini. Seorang mahasiswa dari fakultas hukum meregang nyawa karena ditabrak oleh kendaraan mewah yang dikendarai mahasiswa dari fakultas ekonomi. Namun, yang lebih menyakitkan bukan hanya tragedi itu sendiri, melainkan bagaimana proses hukumnya berjalan: lambat, penuh tanda tanya, dan seolah menghindari transparansi.

“Anak hukum yang sedang belajar keadilan, justru dikhianati oleh hukumnya sendiri. Dan anak ekonomi yang sedang belajar tentang uang, justru terlihat mampu membeli hukum itu.”

Pernyataan ini mungkin terdengar pahit, tapi begitulah kenyataan yang dirasakan publik. Bagaimana bisa seseorang yang telah menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, masih bisa bebas berkeliaran tanpa penahanan? Bagaimana bisa penanganan perkara menjadi begitu hati-hati, padahal seharusnya hukum berlaku tegas?

Hukum Masih Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas

Peristiwa ini bukan yang pertama, dan sayangnya mungkin bukan yang terakhir. Indonesia sudah terlalu sering menyaksikan hukum yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Di mana pelanggaran hukum akan dengan mudah diproses jika pelakunya rakyat biasa. Namun jika pelakunya adalah orang dengan kekuasaan, jabatan, atau kekayaan, proses hukum justru berubah menjadi negosiasi dan kompromi.

Ironi ini menjadi semakin jelas ketika pelakunya berasal dari lingkungan yang “berada”, dan korban adalah bagian dari kelompok yang memperjuangkan keadilan. Apa gunanya belajar hukum jika pada akhirnya hukum tidak berpihak pada yang lemah? Apa gunanya berbicara soal keadilan di ruang kelas, jika kenyataannya keadilan hanya hadir untuk mereka yang memiliki uang dan kuasa?

Ruang Akademik Tidak Bebas dari Ketimpangan

Kampus selama ini dianggap sebagai ruang netral, tempat ilmu berkembang dan mahasiswa setara. Namun realitas sosial menunjukkan bahwa ketimpangan sosial juga hidup di dalamnya. Mahasiswa dari keluarga mampu bisa menikmati kenyamanan, koneksi, bahkan kekuasaan tak tertulis. Sementara mahasiswa lain hanya bisa berharap sistem benar-benar berjalan adil.

Ketika tragedi melibatkan dua latar belakang yang berbeda yang satu membawa idealisme hukum, dan yang lain membawa kekuatan ekonomi maka yang terlihat bukan hanya perbedaan sosial, tetapi juga ketimpangan akses terhadap keadilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun