Mohon tunggu...
Rahmi D
Rahmi D Mohon Tunggu... Mahasiswa - Hello! Have a nice day!

seorang mahasiswa yang senang mengikuti kegiatan kegiatan positif

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Generasi Z Sering Self Diagnosis? Ini Alasan Penyebab dan Cara Mengatasinya!

5 November 2022   14:41 Diperbarui: 5 November 2022   15:01 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kemajuan teknologi informasi merupakan aspek yang tak bisa terhindarkan. Berbagai ‘mesin pencari raksasa’ menyediakan jutaan informasi yang dapat diakses oleh semua kalangan, termasuk informasi penting sekali pun. Dilansir dari kompas.com berdasarkan laporan terbaru juni 2022 ada sebanyak 210 juta pengguna internet di Indonesia pada tahun 2022. Hal ini berarti 75% lebih jumlah penduduk Indonesia telah menikmati akses internet. Penyebaran informasi yang begitu pesat menjadi rintangan tersendiri bagi kita untuk lebih bersikap bijak dalam menerima dan menyebarkan informasi, khususnya terkait dengan kesehatan diri

Dilansir dari laman news.unair.ac.id, menurut WHO (World Health Organization)kesehatan mental merupakan kondisi di mana seorang individu mampu mengelola stress dengan baik untuk bekerja secara produktif dan berperan aktif dalam komunitasnya. Jika seseorang berada di luar kondisi yang sejahtera secara fisik dan mental menurut WHO, dimungkinkan orang tersebut memiliki suatu kelainan, atau yang bisa disebut sebagai mental illness. Dalam UU RI NO. 18 Tahun 2014,gangguan jiwa atau yang biasa kami sebut mental illness adalah suatu kondisi di mana seseorang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang terwujud dalam perubahan perilaku sehingga dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi kehidupan.

Kesehatan merupakan hal yang paling penting dalam hidup ini. Bahkan ada yang mengatakan bahwa kesehatan itu mahal harganya. Di era modern ini sedang menjadi tren yaitu tentang kesehatan mental atau mental health. Para remaja di Indonesia sudah mulai berkembang dan mulai memahami berbagai informasi terutama tentang kesehatan mental.pentingnya kesehatan mental akan tetapi para remaja ini ada yang memanfaatkan gangguan kesehatan mental untuk dijadikan pelarian dan tidak menyelesaikan masalahnya. Akhir-akhir ini di media sosial para remaja sering membuat konten yang berisi tentang menunjukkan diri mereka bahwa sedang terkena gangguan kesehatan mental. Biasanya mereka menyampaikannya melalui beberapa cuplikan video yang sedang menyakiti dirinya sendiri, memotong rambut pendek bagi perempuan, menangis di kamar yang gelap dan diiringi dengan lagu-lagu sedih. Terkadang mereka juga suka bercerita tentang penyebab mereka memiliki depresi.

Para remaja ini menggunakan istilah-istilah yang sedang tren untuk gangguan kesehatan mental ini seperti memiliki keluarga yang tidak harmonis yang mereka sebut dengan broken home, memiliki orang tua yang ketat dan terlalu kaku disebut strict parent,mengalami lingkungan yang buruk disekitarnya disebut toxic environment, menerima sedikit perkataan yang kejam dan melukai hati disebut verbally abuse, dan masih banyak istilah-istilah yang dipakai para remaja ini agar terlihat keren dan menyampaikan betapa menderitanya mereka.padahal dengan mereka memamerkan hal tersebut tidak akan membuat mereka terlihat lebih baik malah justru berdampak buruk terhadap orang disekitarnya. Dengan mereka memamerkan mental illness mereka padahal tidak sedang dalam kondisi 

 tersebut hal ini malah akan membuat mereka kehilangan jati dirinya dan memiliki pola hidup yang negatif, meskipun dengan maksud mereka mencari empati dan pengertian dair orang lain, mungkin orang lain pertama kali akan berempati kepadanya akan tetapi hal tersebut seiring waktu akan hilang karena hal yang mereka buat akan terasa sedang dibuat-buat atau dilebih-lebihkan.Begitupula dengan tingkah para remaja yang melakukan self diagnose tehadap kesehatan mentalnya sendiri misalnya mereka mengaku sedang menderita penyakit bipolar, padahal seperti yang kita ketahui bipolar adalah gangguan mental yang ditandai dengan perubahan yang drastis pada suasana hati. Penderita gangguan ini bisa merasa sangat bahagia kemudian berubah menjadi sangat sedih. 

Menurut Ateev M. Associate Professor Kebijakan Kesehatan dan Pengobatan di Harvard, mencari informasi di internet, termasuk media sosial mengenai gejala gangguan mental sebagai perilaku self-diagnosis berguna bagi seseorang yang sedang mencoba untuk memutuskan untuk pergi pada tenaga ahli sesegera mungkin, tetapi seseorang harus hati-hati dan tidak mengambil informasi yang didapatkan dari self-diagnosis online sebagai patokan utama. Dampak dari self-diagnosis dapat menyebabkan seseorang salah mencocokkan gejala yang ada dengan gejala yang ada di dalam dirinya karena ternyata penyakit yang diderita berbeda. self-diagnosis juga dapat mengakibatkan penderita tidak mau pergi pada tenaga ahli profesional karena merasa cemas dan ketakukan terlebih dahulu. Hal tersebut akan berpengaruh pada kesehatan mental sebab pelaku menjadi khawatir atas sesuatu yang belum resmi.

Self-diagnosis dapat menyebabkan remaja tersugesti bahwa dirinya benar-benar memiliki suatu gangguan penyakit mental sehingga pada akhirnya remaja dapat benar-benar terkena penyakit tersebut. Selain itu dampak buruk dan bahaya dari self-diagnosis adalah remaja dapat menyebabkan diagnosis yang salah, memicu munculnya gangguan yang lain, salah penanganan, gangguan yang sebenarnya dapat tidak terdeteksi, serta menimbulkan persepsi yang salah terhadap gangguan mental. Oleh karena itu, self-diagnosis kesehatan mental hanya boleh digunakan sebagai gambaran umum saja bukan untuk mendiagnosa diri sendiri.

Assegaff (2019) menuturkan penyataan psikolog yang berasal dari India, Rajnish Mago bahwa informasi yang khususnya didapat dari internet bukanlah sebuah patokan untuk dapat menyimpulkan kondisi kesehatan mental karena informai tersebut hanya digunakan sebagai menambah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, fungsi informasi kesehatan mental di media sosial hanya untuk pengetahuan, menambah wawasan, dan gambaran umum saja bukan sebagai dasar untuk mendiagnosa penyakit mental dengan mencocokkan gejala dengan apa yang dirasakan sehingga menyimpulkan bahwa benar telah mengidap penyakit tersebut

Informasi mengenai self-diagnosis kesehatan mental dan dampak buruknya yang menargetkan remaja Generasi Z masih minim dapat menjadi salah satu penyebab perilaku self-diagnosis di kalangan sebagian remaja Generasi Z masih banyak terjadi di media sosial dan dari hasil survei hanya 3.8% dari 100 responden yang merasa memiliki gangguan mental dan telah mendapatkan diagnosa dari tenaga ahli profesional. Literasi mengenai self-diagnosis masih minim beredar di masyarakat, hal tersebut dilandaskan dari hasil pencarian dalam website Goodreads yang dikhususkan sebagai tempat untuk katalogisasi buku di seluruh dunia, dengan tidak ditemukan buku informasi mengenai self-diagnosis kesehatan mental yang berasal dari penerbit dan pengarang Indonesia.

Oleh karena itu dibutuhkan perancangan media informasi yang tepat, efektif, dan menarik mengenai perilaku self-diagnosis dan dampak buruknya kepada remaja generasi Z sebagai pengguna aktif di media sosial, serta cara untuk memilah informasi kesehatan mental di media sosial sehingga tidak menjadikannya sebagai acuan untuk mendiagnosa diri. Selain itu remaja Generasi Z perlu memeriksakan diri kepada tenaga ahli profesional seperti psikolog atau psikiater untuk mendapatkan diagnosa resmi 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun