Mohon tunggu...
Rahmatul Ummah As Saury
Rahmatul Ummah As Saury Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis dan Editor Lepas. Pemilik www.omah1001.com

Ingin menikmati kebebasan yang damai dan menyejukkan, keberagaman yang indah, mendamba komunitas yang tak melulu mencari kesalahan, tapi selalu bahu membahu untuk saling menunjuki kebenaran yang sejuk dan aman untuk berteduh semua orang.. Kata dan Ingatan saya sebagian ditulis di www.omah1001.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menjadi Pemenang di Era Pandemi

22 Mei 2020   17:59 Diperbarui: 22 Mei 2020   17:57 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pandemi Covid-19 atau virus corona sukses mengguncang pertahanan ekonomi keluarga di hampir semua strata sosial masyarakat. Meski belum genap separuh tahun menyerang Indonesia, virus ini telah melahirkan ragam kecemasan dan nestapa bagi jutaan orang, mereka yang kehilangan pendapatan membunyikan sirene kepedihan yang menggema di mana-mana, angka kriminalitas seperti pencurian dan perampokan karena virus corona menjadi fenomena baru di beberapa daerah.

Timbunan kecemasan tentang kehidupan dan masa depan bertumpuk dengan ketidakjelasan akhir pandemi Covid-19, mempersempit ruang berpikir logis. Orang bertambah kalut, panik, dan frustrasi. Ada yang nekat kembali ke jalanan, membaur di ruang publik dan mengabaikan protokoler kesehatan, ada yang memborong makanan dan barang, ada yang berburu baju lebaran, tak sedikit pula yang antre di bank sekadar untuk menukarkan uang untuk persiapan bagi-bagi THR.

Lonjakan positif Covid-19 kembali terjadi, berita-berita yang mengerikan kembali menjadi headline, kasir supermarket, pedagang pasar hingga anak kecil usia di bawah lima tahun, turut menjadi korban baru. Tindakan masyarakat yang 'suka-suka' ini sukses melahirkan kepanikan massal baru, kecemasan baru dan tentu saja menambah suram ujung lorong wabah Covid-19 ini.

Kepanikan dan putus asa, merupakan dua kata yang mengikis nalar dan menggerus kewarasan. Saat orang panik secara berlebihan, maka saat itu ia juga akan sulit berpikir jernih, pun pada ketika orang dihinggapi perasaan putus asa, harapannya menjadi pupus, masa depan baginya terlalu pendek dan akhirnya ia akan melakukan tindakan-tindakan nekat yang mengabaikan keselamatan hidupnya dan orang lain.

Berbeda dengan orang yang mampu bersikap tenang dan selalu berpikir positif, selalu cerdas berperilaku, baginya musibah pasti berlalu, ia selalu memiliki stok optimisme yang tak terbatas, sekalipun ia tak mengetahui kapan akhir dari pandemi ini. Untuk itu, bagi mereka yang selalu optimis, akan berupaya untuk mempersiapkan diri, mempersiapkan segala yang dimiliki untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, baik atau buruk.

Persiapan itu bisa saja dalam bentuk menjaga kesehatan dengan mematuhi imbauan pemerintah dan ahli medis yang memiliki kompetensi bicara tentang kesehatan, atau mengisi kegiatan-kegiatan di rumah dengan hal-hal positif, berolahraga, berkebun, memasak, dll. Persiapan lain adalah lewat gerakan berhemat, terbatasnya pekerjaan yang berdampak pada terbatasnya pemasukan meniscayakan gerakan berhemat, membeli makanan dan barang sebatas yang dibutuhkan.

Kepanikan dan rasa putus asa selain tak memberi apapun, juga membuat orang lebih mudah termakan isu dan berita bohong (hoaks) yang mengakibatkan tindakan-tindakan di luar nalar sehat.

Berbeda dengan mereka yang selalu berpikir positif dan optimis. Jernih dan tenang dalam bersikap, tak gegabah mengambil tindakan, selalu tepat dan terukur. Mereka memiliki manajemen krisis untuk keluar sebagai pemenang di era pandemi ini, manajemen krisis yang semestinya dimiliki semua individu, karena pandemi Covid-19 ini adalah masalah bersama mengatasinya harus bersama dan bekerja sama.

Pandemi Covid-19 masih serupa lorong waktu yang tak diketahui ujungnya, kapan dan di mana akan berakhir?

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tak mungkin diterapkan dengan cara mengunci setiap orang untuk terus tinggal di rumah masing-masing hingga berbulan-bulan. Semua orang perlu stok makanan, yang mengharuskan para petani untuk tetap pergi ke sawah, ladang atau kebunnya. Perlu orang yang mengantarkan stok makanan itu ke pasar sehingga terdistribusi ke banyak orang.

Mata rantai kehidupan saling terhubung. Tak ada yang bisa bertahan hidup dalam kesendirian dengan mengisolasi diri tanpa peranan orang lain.

Sebagai satu kesatuan dari mara rantai kehidupan itulah diperlukan cara pikir dan cara tindak yang bijak dengan tidak saling menegasikan orang lain. Egoisme dan sikap hidup individualistik, selain merugikan orang lain akan berdampak pula pada kerugian diri sendiri.

Barangkali kita adalah bagian dari kelompok yang berkecukupan, mapan secara penghasilan dan tetap mendapat income meski harus bekerja di rumah. Namun, kemapanan yang menjamin tercukupinya segala kebutuhan tersebut tak lantas harus membuat abai dengan kehidupan orang lain, karena kita masih butuh beras dan kebutuhan pokok lainnya, butuh orang yang menjual dan mengantarnya hingga sampai ke rumah.

Bayangkan saja, bila kita berpikir egois dan individualistik. Saat kita disiplin untuk menjaga jarak, memakai masker, rajin cuci tangan dengan sabun atau handsanitizer dan tetap di rumah saja, di saat yang sama ada ribuan orang yang terdampak, pekerja di sektor informal yang tetap harus bertaruh hidup mencari makan di tengah virus yang merajalela, dan mereka menjadi bagian dari yang terlibat dalam menyuplai stok makanan kita?

Apa yang kira-kira terjadi, ketika mereka bekerja tak sesuai protokol kesehatan, tak menggunakan masker, tak mencuci tangan, tak disiplin menjaga jarak dan terus berkeliaran tak memperhatikan zona? Terlebih saat mereka berputus asa karena berhadapan dengan dilema, antara terpapar virus corona dan jerit anggota keluarga yang kelaparan?

Menjadi tak peduli dengan kehidupan orang lain di era pandemi ini menjadi langkah yang tak bijak. Virus corona ini justru mendorong menyadarkan kita bahwa untuk memutus mata rantai penyebaran virus ini bukan dengan jalan pembatasan sosial yang memutus hubungan sosial, tetapi adalah dengan cara tetap gotong-royong dan bekerja sama, berperan sesuai posisi dan porsi masing- masing.

Secara garis besar, dalam kesunyatan di rumah saja, saya mencatat tiga hal yang bisa kita lakukan untuk memenangkan krisis akibat pandemi ini, yakni: berhemat, berbagi dan kerja kreatif sebagai bentuk perilaku cerdas di era ketidakpastian ini.

Hemat: Bijak Bergaya dengan Mengurangi Belanja

Membeli barang atau makanan secara berlebihan bukan hanya perilaku boros yang bisa menguras isi kantong, melainkan juga menjadi gaya hidup yang tidak sehat. Membeli barang dalam jumlah banyak berkontribusi besar terhadap kerusakan lingkungan terlebih ketika barang-barang tersebut tidak termanfaatkan secara maksimal.

Selain itu, memborong makanan seperti cemilan atau makanan kecil lainnya, berpotensi menambah bobot badan di saat tubuh justru lebih banyak rebahan di rumah.

Di masa pandemi Covid-19 ini, kita setidaknya bisa belajar untuk mengendalikan kebiasaan tersebut dengan berusaha membuat daftar belanja yang benar-benar menjadi kebutuhan. Terlebih, saat kebijakan #dirumahaja tidak terlalu menuntut kita untuk 'banyak bergaya'.

Membeli kebutuhan yang benar-benar diperlukan. Berdiam diri di rumah menjadikan pemasukan lebih sedikit dan tentu menuntut kita untuk memperketat pengeluaran. Maka, kebutuhan terhadap fashion harus bisa ditekan, seperti membeli baju baru saat lebaran, hang out bersama teman-teman dan hal-hal sejenis lainnya. Menabunglah.

Berbagi dengan Sesama di Masa Pandemi

Bantulah warga sekitar yang memerlukan bantuan. Barangkali ada beberapa tetangga kiri kanan yang terdampak, pekerja harian lepas yang tidak lagi bisa bekerja, karyawan korban PHK atau yang dirumahkan sehingga kehilangan pemasukan, bantulah mereka mencukupi kebutuhannya. Alihkan biaya hidup yang selama ini dialokasikan untuk membeli baju, parfum atau biaya untuk memenuhi gaya hidup lainnya untuk membantu mereka.

Berbagi bisa juga dalam bentuk bertukar makanan dengan tetangga. Pandemi ini bisa menjadi ruang kita lebih membumi, bersosialisasi, mengakrabkan kehidupan dengan para tetangga. Jika selama ini, hidup di kota dengan ragam aktivitas yang padat, membuat kita terlalu sibuk untuk bisa bertegur sapa, maka di masa wabah corona inilah momentum untuk memulai kembali kehangatan di sekitar lingkungan rumah. Saling berbagi, seturut ajaran suci agama bisa membuat hati saling menyayangi. Berbagi (saling bertukar makanan) juga bisa menghindari 'kemubadziran' atas makanan berlebih.

Kerja Kreatif dan Tetap Poduktif di Rumah Saja

Kerja Kreatif. Ada banyak hal positif yang bisa dilakukan selama di rumah. Mengasah keterampilan yang selama ini barangkali diabaikan, menulis, menciptakan syair, membuat lagu, menjahit atau membuat keterampilan-keterampilan lain sesuai minat, bakat dan keahlian. Bisa juga dengan berkebun, menanam di sekitar pekarangan.

Kegiatan tersebut selain membantu untuk mengusir kejenuhan selama di rumah saja, bisa juga menghalau stress dan mendatangkan keuntungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun