Mohon tunggu...
Rahmat Setiadi
Rahmat Setiadi Mohon Tunggu... Buruh - Karyawan swasta yang suka nulis dan nonton film

Saya suka baca-tulis dan nonton film.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Bahasa Indonesia Vis a Vis Bahasa Pergaulan

29 Oktober 2022   19:57 Diperbarui: 6 November 2022   17:45 1133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Murid kelas VII belajar menulis aksara Sunda dalam mata pelajaran muatan lokal Bahasa Sunda di SMP Negeri 25, Depok, Jawa Barat, Rabu (22/1/2020). Pelestarian bahasa Sunda dilakukan secara reguler melalui mata pelajaran muatan lokal yang diberikan setiap minggu sekali selama dua jam pelajaran. (Foto: KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN)

Bahasa sudah kita kenal sejak lahir, dengan kata lain berbahasa kita dapatkan dari orangtua kita. Dalam perkembangannya tidak hanya bahasa ibu-bapak yang kita kuasai, bahasa ibu-bapak belum cukup untuk hidup bernegara, kita perlu menguasai bahasa lainnya. 

Tentu saja diperlukan bahasa pemersatu, bahasa yang bisa dipahami oleh semua orang yang tidak seibu-sebapak. Diperlukan bahasa yang dimengerti oleh orang-orang lintas suku-budaya, daerah, dan lintas negara. Maka dibutuhkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu.

Bahasa Indonesia secara aklamasi disetujui, atas usulan M Tabrani pada Kongres Pemuda 2 Mei 1926, bahasa Melayu yang menjadi acuan karena telah banyak digunakan sejak abad ke- 6 Masehi di ganti dengan istilah bahasa Indonesia, yang kemudian diikrarkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. 

Untuk mengukuhkannya diadakan Kongres Bahasa Indonesia 25-28 Juni 1938 di Solo dan secara resmi menjadi Bahasa Negara Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 pasal 36. Sejak itu hingga kini bahasa Indonesia kita pakai sehari-hari bersama dengan bahasa lahir kita.

Bahasa Indonesia mengalami perkembangan sebagaimana bahasa lahir kita. Ada saja perubahan, penambahan dan ada saja yang jarang lagi kita gunakan, terlebih pada saat bahasa itu dituliskan. 

Orang yang berbicara atau menulis pasti memilih kata yang tepat, agar bisa dimengerti oleh lawan bicaranya, begitu pula dengan penulis. Diksi adalah cara penyebutan dan penulisan kata agar bisa dimengerti oleh banyak orang, menjadi hal yang kerap mengalami banyak perubahan.

Diksi-diksi dalam bahasa Indonesia bisa dikatakan paling banyak jumlahnya jika dibandingkan dengan diksi di bahasa negara lain. 

Ini dikarenakan bahasa Indonesia merupakan serapan dari banyak bahasa daerah, bahkan dari bahasa asing juga. Selain itu, bahasa pergaulan juga menjadi penyebab kian bertambah banyak diksi yang dipakai dalam berbahasa keseharian.

Saat ini kata "anjing" sudah menjadi diksi. Ia tidak lagi hanya berarti binatang sesungguhnya, atau umpatan. Kata anjing tidak lagi dianggap kasar. 

Dari kata itu dalam perjalanannya melahirkan kata anjiir, anjay, uasu, njing, yang berati sebuah ungkapan kekaguman, heran, dan terkadang jadi sebuah kata sapaan. Dalam komunikasi sudah menjadi hal yang lumrah dalam bahasa pergaulan. Tapi, apakah dibenarkan diksi semacam ini dalam berbahasa Indonesia?

Tidak hanya itu, kata bucin, gabut yang berkonotasi negatif menjadi trend. Tidak seperti kata yang berakar dari kata lainnya seperti mager, gercep, mantul, santuy dan sebagainya yang masih terkesan lebih baik karena berakar dari kata yang memang tidak kontroversi. Tapi sekali lagi, apa iya bahasa Indonesia menyerap diksi bahasa pergaulan?

Kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia setidaknya sebagai lambang identitas dan jati diri bangsa yang berarti juga lambang jati diri orang-orang, penduduk Indonesia. 

Jika saja bahasa pergaulan yang secara bebas mengartikan suatu kata diterima, maka bisa jadi identitas jatidiri bangsa ini menganut kebebasan, kebebasan berbahasa. Jika demikian adanya di mana fungsi bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa?

Setidaknya ada tujuh ratusan bahasa daerah di negara tercinta ini. Dan bahasa Indonesia merupakan alat penghubung antar warga dari semua bahasa daerah masing-masing, penghubung antar budaya untuk menghindari kesalahpahamanan. 

Kekayaan bahasa ini bisa dipadukan dalam bahasa Indonesia untuk menjadi sebuah kebanggaan berbangsa dan bernegara. Lalu apakah bisa bahasa pergaulan melakukan hal yang demikian?

Sebagai warga negara yang baik tentu kita tidak menghendaki sesuatu yang tidak baik. Kita bisa saja mengatakan bahwa itu hanya bahasa pergaulan semata yang tidak akan kita gunakan dalam bahasa formal. 

Bisa jadi kita akan berkilah bahwa itu hanya bahasa bocil, bahasa para anak jalanan, masih wajar dan bisa dimaklumi. Tapi itu tetap menggambarkan sebuah identitas, bukan? 

Bahasa formil digunakan dalam suasana, acara-acara formil, sementara pergaulan lebih banyak terjadi daripada hal-hal yang bersifat formal. Kegiatan-kegiatan formal masih begitu eksklusif, masih ditertawakan dalam kegiatan yang bersifat pergaulan. Berbahasa Indonesia yang baik dan benar belum bisa dilakukan di tiap pos ronda, di pinggiran jalan.

Sementara itu ada banyak diksi-diksi yang jarang digunakan lagi, diksi-diksi yang jarang diketahui banyak orang, diksi-diksi yang mengandung kearifan budaya. 

Diksi-diksi yang tidak diajarkan, tidak dianjurkan, yang pada gilirannya mungkin akan hilang dari identitas jatidiri kita sebenarnya. Kita ketahui penggunaan bahasa daerah semakin berkurang. 

Ini tidak lain karena pergaulan, baik dalam dunia nyata maupun dunia maya. Bahasa tata krama kedaerahan mulai tersingkir dengan bahasa daerah yang umum, yang terkesan kasar.

Bahasa jelas menjadi modal utama dalam membentuk masa depan generasi penerus bangsa. Mereka yang berprestasi hampir bisa dipastikan memiliki ketrampilan berbahasa yang baik dan benar. 

Apa-apa yang mengiringi pertumbuhan hidupnya, termasuk bahasa, membentuk karakternya. Tak berlebihan bila dikatakan bahwa bahasa pergaulan bisa saja menjadi salah satu car untuk sukses, tapi sampai saat ini hanya menjadi trend temporer. Sebut saja bahasa pergaulan ala Deby Sahertian, ala Slank, ala gamers dan lainnya.

Image by Pixabay 
Image by Pixabay 
Tentunya akan lebih banyak lagi yang bisa diungkapkan terkait bahasa dan berbahasa, terlebih dalam Bulan Bahasa 2022 kali ini. Dan kita perlu memberikan perhatian khusus. 

Namun kali ini saya akhiri saja dengan puisi saya yang menggunakan diksi-diksi yang lama tidak dipakai. Terima kasih atas perhatiannya.

Babad Gobog

Demang adakan sayembara
Jelantik turut serta
Para sais tak mau kalah
Cipta bingung huru hara
Raja tuli lagi buta
Patih terus menutupi
Punggawa tiada berdaya
Terlena molek permaisuri
Penjuru nagari bergolak
Daun lontar tiada berpijak
Angkara murka terus melonjak
Teliksandi saling mendepak
Para begawan masih diam
Meski carik mendesak kalap
Turun gununglah
Para Demang disuap musuh!
Hulubalang menyekap carik
Untuk berhenti menulis karma
Raja tegak gamang berdiri
Menanti larik nirwana
Begawan membisik lirih
"Keluarkan titahmu, kami akan bergerak"
Tenaga warakawuri masih tersisa
Ganyang demang pemburu perawan
Lihatlah kini
Cecunguk mulai menepi
Tersingkir semangat santri
Sorak sorai jelata menyambangi
Babad gobog usai sudah
Wahyu keprabon bagi pertiwi
Akandra, hilang gundah gulana
Menyambut gemah ripah loh jenawi

Bekasi, 19 April 2019

***

Pada kalimat terakhir, sengaja saya tulis "Gemah ripah loh Jenawi" yang berarti merek dagang. Sementara kata yang benar adalah "Jinawi', yang berarti subur, makmur. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun