Mengapa Orang Indonesia Malas Berjalan Kaki?
Jalan Kaki: Gaya Hidup atau Pilihan Terpaksa?
Di negara-negara seperti Jepang, Belanda, atau Korea Selatan, berjalan kaki adalah bagian dari rutinitas harian. Tak hanya karena sistem transportasinya tertata baik, tapi karena budayanya juga mendukung: warga terbiasa berjalan.
Bandingkan dengan Indonesia. Di sini, jalan kaki kerap dianggap sebagai aktivitas "kelas dua". Kalau bisa naik motor, kenapa harus jalan? Bahkan, jarak 200 meter pun sering ditempuh dengan kendaraan pribadi.
Padahal, dulu kita punya tradisi mobilitas yang kuat tanpa mesin: andong, bendi, becak dll.
Budaya Instan, Gengsi Kendaraan
Salah satu penyebab rendahnya minat berjalan kaki di Indonesia adalah budaya serba cepat. Mobil dan motor tidak lagi sekadar alat bantu, tapi sudah menjadi bagian dari identitas sosial.
Naik motor terasa lebih praktis, lebih keren, dan sayangnya lebih diutamakan. Akibatnya, volume kendaraan terus naik dari tahun ke tahun. Data BPS menunjukkan pertumbuhan kendaraan bermotor yang signifikan, terutama sepeda motor. Lalu lintas pun semakin padat, polusi meningkat, dan ruang publik untuk pejalan kaki makin terpinggirkan.
Trotoar: Ada yang Bagus, Banyak yang Terlantar
Trotoar seharusnya menjadi simbol kota yang ramah manusia. Namun kenyataannya, di banyak kota Indonesia, trotoar adalah ruang yang sering kali: Dikuasai pedagang kaki lima, Dijadikan parkir kendaraan, Tidak nyambung antar ruas jalan dan Minim peneduh dan marka jalan. Kalaupun ada, banyak yang tidak ramah anak, tidak inklusif bagi lansia atau penyandang disabilitas.
Jarak: Bukan Soal Kilometer, Tapi Soal Rasa
Secara teoritis, orang nyaman berjalan kaki hingga jarak 400--800 meter. Namun, di banyak wilayah Indonesia, jarak pendek sekalipun terasa jauh. Penyebabnya?
Blok bangunan besar dan tidak terhubung,
Tidak adanya jalur pintas atau jalan setapak,
Tidak ada orientasi visual yang jelas (peta, penunjuk arah).