Â
Bangsawan Sebagai Pengganti Raja : Solusi atau Kudeta?
Ketika seorang bangsawan menggantikan raja yang menyimpang, muncul krisis identitas dan perdebatan legitimasi.
         Dalam sistem pemerintahan lokal di Sulawesi Tenggara, khususnya komunitas Moronene, struktur kekuasaan diwariskan secara turun-temurun, namun, dalam praktiknya, proses suksesi tidak selalu berjalan linear sesuai silsilah. Konflik internal, krisis legitimasi, dan Penyalahgunaan kekuasaan menyebabkan figur-figur baru yang mengambil ahli maupun menggantikan kekuasaan.
       Dua tokoh yang mencerminkan kompleksitas tersebut adalah Sangia Niwehi dan Munara, yang masing-masing naik takhta dalam konteks sosial-politik yang berbeda tetapi menunjukkan pola serupa: berpindahnya kekuasaan secara simbolik maupun strategis dari paman mereka sendiri.
Â
Sangia Niwehi: Perebutan Takhta dan Legitimasi Moral
           Sagia Niwehi bukan pewaris utama namun mampu merepresentasikan narasi lokal tentang figur muda yang mengambil  ahli kekuasaan dari paman yang  telah kehilangan legitimasi.
         Tindakan Sangia Niwehi adalah bentuk perlawanan terhadap dominasi eksternal. Ia membatalkan kerja sama dagang luar yang merugikan masyarakat dan mengembalikan otoritas tradisional (sara). Ia tidak hanya memimpin secara politis, tetapi juga melindungi nilai-nilai budaya dan identitas kolektif. Tindakannya dipandang sebagai upaya memulihkan kedaulatan lokal yang terganggu akibat hubungan dagang yang timpang dan intervensi kekuatan luar.( Pelras 1996).
       Sebagai bentuk simbolik, ia menanggalkan atribut asing dan kembali mengenakan ikat kepala adat (Taali). Tindakan ini mencerminkan pemurnian identitas serta perlawanan terhadap budaya asing dan dicatat sebagai bentuk awal nasionalisme Moronene. (Arsip Kolonial, 1931 ).
Kenaikan Sangia Niwehi adalah peristiwa politik sekaligus simbolik. Dalam narasi lisan, ia dikenal sebagai tokoh yang menghentikan kehancuran adat dan menyatukan klan yang terpecah.