Lebaran sisa terhitung jari tangan . Seperti biasa di negeri tercinta ini, menjelang hari Raya Idul Fitri atau lebaran akan terlihat sebuah pemandangan rutin yang terjadi setiap tahun, Pulang Kampung atau Mudik. Hampir semua orang khususnya yang tinggal jauh dari kampung halamannya beramai-ramai meninggalkan tempat mereka mencari nafkah untuk meluangkan waktu berkumpul bersama sanak saudara di kampung halaman. Meski demikian ada pula yang dengan sangat terpaksa tetap harus tinggal dan tidak mudik karena beberapa alasan diantaranya karena tuntutan pekerjaan atau juga karena pertimbangan biaya.
Disadari atau tidak, mudik sepertinya sudah menjadi ‘ritual’ tahunan. Kesempatan untuk berkumpul bersama keluarga besar sambil merayakan hari kemenangan setelah sebulan berpuasa dianggap moment yang paling tepat untuk saling bermaafan dan bersilaturrahmi. Namun hal itu tidak berlaku buat aku, atau mungkin ada juga orang lain yang memiliki pandangan yang sama dan agak sedikit ‘anti mainstream’.
Sejak 4 tahun terakhir, aku tidak lagi mewajibkan diriku untuk mudik saat lebaran. Kenapa? Banyak pertimbangan. Di antaranya aku tidak perlu menunggu hari lebaran untuk pulang ke kampung nun jauh di selatan Sulawesi tepatnya di Makassar sana. Aku bisa pulang kapan saja khususnya di long weekend atau ada hari kejepit. Moment itu bisa aku gunakan untuk bersilaturrahmi dan bermaaf-maafan sekaligus melakukan nyekar di makam almarhum bapak dan keluarga lain yang telah berpulang. Meskipun bukan hari lebaran. Pertimbangan lainnya bahwa mudik saat lebaran yang aku lakukan selama ini seperti rutinitas yang cenderung monoton. Aku sudah melakukannya bertahun-tahun. Aktifitas di hari lebaran hanya begitu-begitu saja. Selesai shalat Ied, berkumpul bersama keluarga sambil bermaaf-maafan dan menikmati hidangan lebaran, istirahat sebentar kemudian sore harinya pergi nyekar lalu malamnya berkeliling keluarga untuk bersilaturrahmi. Hanya begitu itu saja dari tahun ke tahun.
Meski demikian, aku tetap mempertimbangkan permintaan keluarga khususnya Ibu yang meminta agar sesekali aku tetap merayakan lebaran bersama keluarga. Sebagai orang tua Ibu tetap menginginkan anak-anaknya berkumpul secara lengkap saat lebaran. Akhirnya kami membuat kesepakatan bahwa lebaran di kampung halaman akan di selang seling tiap tahunnya. Jika tahun ini aku berlebaran di kampung, maka tahun depannya aku boleh berlebaran di mana saja tanpa harus mudik. Semua keluarga setuju.


Selain berlebaran di Kashmir, aku juga mengunjungi beberapa objek wisata di India diantaranya Taj Mahal di Agra, India Gate di New Delhi dan menikmati naik taxi kuning yang penuh sensasi di kota ramai nan semrawut, Kolkata. Aku sudah pernah memuat ceritanya di blog ini salah satunya http://www.kompasiana.com/rahmathadi/selfie-pake-tongsis-aku-jadi-tontonan-di-india-gate-delhi_54f68087a3331137028b4db7
Masih banyak tempat atau negara yang sudah masuk dalam daftar ‘mudik lebaran’ ku. Selain Mekkah dan Medinah adalah Turki, Mesir, Maroko, Azerbaijan dan masih banyak negara lain yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Namun sesuai kesepakatan dan aku harus konsisten dengan itu, tahun ini akan kembali berlebaran bersama keluarga di Makassar jadi beberapa hari lagi aku juga akan MUDIK!
Bagaimana, ada yang memiliki passion yang sama atau berminat mencoba melakukan hal yang berbeda waktu mudik tiba? Disaat semua orang bersiap-siap mudik menjelang lebaran, kita juga bersiap-siap menjauh dari kampung halaman, Traveling!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI