Mohon tunggu...
RAHMAT GUNAWIJAYA
RAHMAT GUNAWIJAYA Mohon Tunggu... Administrasi - PENULIS Sejarah

Penulis sejarah yang pernah kerja di perbankan

Selanjutnya

Tutup

Financial

Dampak Sistemik KPR terhadap Stabilitas Sistem Keuangan

31 Juli 2018   09:51 Diperbarui: 31 Juli 2018   09:54 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Properti  rumah merupakan salah satu sektor potensial bagi pembangunan ekonomi nasional karena mampu mendatangkan penerimaan negara baik di tingkat pemerintah pusat dan daerah melalui pajak penjualan, pajak bumi dan bangunan, pajak hotel dan restoran dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB).

Pertumbuhan properti juga mengindikasikan kondisi ekonomi di suatu daerah, semakin maju suatu wilayah biasanya ditandai dengan tingginya harga properti, sebab nilai jual properti  sangat dipengaruhi pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut.

Kebutuhan akan properti  sudah merupakan kebutuhan pokok baik bagi rumah tangga yang membutuhkan tempat tinggal maupun dunia usaha yang membutuhkan properti untuk tempat usaha ataupun tempat produksi bagi dunia industri. 

Pertambahan penduduk, meningkatnya perdagangan dan pertumbuhan industri tentu akan meningkatkan permintaan akan kebutuhan properti sedangkan luas tanah untuk properti jumlahnya cenderung tetap, hal ini menyebabkan harga properti  secara umum akan cenderung naik.

Tingginya harga jual properti menyebabkan tidak semua rumah tangga termasuk lembaga atau perusahaan mampu membeli kebutuhan properti secara tunai. 

Properti rumah tinggal atau apartemen di Kota Besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung Surabaya, harganya paling tidak sudah diatas 150 juta rupiah, sedangkan bangunan gedung kantor atau gudang untuk industri di kota --kota besar tersebut nilai jualnya bisa mencapai diatas 5 milyar rupiah, tentunya dengan tingginya nilai jual tersebut bagi konsumen rumah tangga maupun perusahaan.


Jalan keluar termudah untuk memperoleh properti adalah dengan menyewa atau membeli secara mencicil atau lewat pinjaman kredit properti di perbankan dengan jaminan properti tersebut.

Bagi sektor perbankan pengajuan kredit dengan agunan tanah atau properti dinilai merupakan jaminan yang sangat potensial karena nilai jualnya yang tinggi dan harganya cenderung naik setiap tahun, selain itu kredit properti biasanya dalam tempo jangka panjang diatas 5 tahun, sehingga peluang perbankan memperoleh laba akan lebih besar dan lebih lama dari bunga kredit properti dalam jangka panjang. 

Menurut Setianto (2015, hal. 39)  Hubungan antara harga properti, siklus kredit perbankan, serta kondisi perekonomian telah diobservasi diberbagai negara, dimana hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya hubungan signifikan antara properti dan pasar kredit terhadap fluktuasi perekonomian.  

Perhatian terhadap hal ini mengingat pernah terjadinya krisis kredit perumahan (subprime mortage) di Amerika Serikat yang berpengaruh terhadap perekonomian negara-negara lain di dunia.

Di Indonesia  sektor properti memiliki pengaruh yang besar terhadap sektor lainnya dalam kaitan dengan pembangunan infrastrukur, pemerataan penduduk  dan pertumbuhan ekonomi, dengan nilai kredit properti yang bisa mencapai ratusan trilyun dalam jangka panjang , akan tetapi kredit properti juga memiliki resiko  sistemik terhadap stabilitas sistem keuangan.

Ledakan harga properti juga bisa menimbulkan resiko gagal bayar atau non performing loan (NPL) yang tidak baik bagi dunia perbankan dan stabilitas perekonomian. 

Untuk itu lembaga perbankan sebagai penggerak perekonomian nasional melalui peredaran uang dan penyaluran kredit bagi rumah tangga dan dunia usaha harus bisa menjaga  stabilitas moneter dan menghindari nilai NPL yang terlalu besar, mengingat Indonesia dengan jumlah penduduk relatif besar tentu memiliki potensi permintaan pasar properti yang besar pula, selain pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup baik yakni rata-rata 5 persen setahun dalam lima tahun terakhir tentu memerlukan dukungan pembangunan infrasuktur demi memenuhi kebutuhan nasional agar ekonomi terus tumbuh.    

Berdasarkan data kredit kepemilikan properti tahun 2011 sampai dengan tahun 2015 diketahuinya jumlahnya terus meningkat setiap tahunnya pada tahun 2011 jumlah kredit kepemilikan rumah (KPR) di perbankan mencapai 176,658 trilyun rupiah sedangkan pada tahun 2015  meningkat menjadi 326,327 trilyun.

Sedangkan kredit kepemilikan rumah toko (ruko) atau rukan (rumah kantor) yang digunakan untuk kegiatan usaha meningkat dari 15,207 trilyun pada tahun 2011 menjadi 26,579 trilyun rupiah pada tahun 2015.

Dilihat dari jumlah kreditnya jumlah penyaluran kredit untuk kepemilikan rumah lebih besar dari pada jumlah kredit yang disalurkan untuk kepemilikan apartemen atau ruko, akan tetapi jika dilihat dari rasio non performing loan (NPL) atau kredit bermasalah jumlahnya terus naik dengan persentase NPL tertinggi pada penyaluran kredit untuk ruko atau rukan mencapai 3,11 persen.

Penyaluran kredit mengalami kemacetan atau gagal bayar sedangkan NPL kredit perumahan juga naik setiap tahunnya dalam beberapa tahun terakhir sebanyak 2 persen KPR yang disalurkan mengalami kredit macet. Meningkatnya NPL ini jika dibiarkan secara terus menerus akan memberikan pengaruh negatif pada bank.

Dampak negatif tersebut salah satunya adalah mengurangi jumlah modal yang dimiliki oleh bank. Jika Bank mengurangi ekspansi kreditnya tentu akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional, padahal dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup menjanjikan dan sangat didukung oleh tingkat pertumbuhan konsumsi masyarakat secara nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun