Perkembangan Artificial Intelligent (AI) memang tidak bisa kita kita bayangkan. Segala kemudahan terlihat setelah kita memanfaatkan AI. Beberapa pekerjaan bahkan harus hilang karena kecanggihan teknologi ini. Walaupun begitu, terdapat juga permasalahan akibat pesatnya perkembangan AI ini. Salah satunya di ranah psikologi dan kesehatan mental ada Chatbot Psychosis, sebuah gangguan psikologis dampak dari AI yang juga membuat alasan mengapa psikolog manusia tetap diperlukan.
 Sebelumnya saya juga pernah membahas tentang pesatnya AI dalam ranah psikologi yang membuat pekerjaan psikolog mungkin akan tersingkirkan. Tulisan saya tentang Chatbot yang mampu meredakan kecemasan itu memang dibarengi opini tentang adanya efek samping terkait penggunaan AI untuk permasalahan psikologi.
Setelah saya mencari berita terbaru ternyata memang AI membawa beberapa gangguan psikologis. Walaupun belum resmi ditetapkan, istilah Chatbot Psychosis atau AI Psychosis menjadi nama untuk gangguan ini.
Permasalahan ini juga dampak dari beberapa sektor yang terdehumanisasi yang akan kita bahas selanjutnya setelah kita bahas apa itu Chatbot Psychosis. Kita juga akan lebih dalam mempelajari bahwa ada banyak pekerjaan yang memang tidak bisa digantikan oleh AI, termasuk psikolog.
Mengenal Chatbot Psychosis
Fenomena Chatbot Psychosis atau AI Psychosis muncul seiring meningkatnya penggunaan chatbot berbasis kecerdasan buatan dalam percakapan sehari-hari, bahkan untuk curhat masalah mental.Â
Istilah ini merujuk pada kondisi di mana seseorang mengalami gejala psikotik, seperti delusi atau hilangnya kontak dengan realitas, setelah berinteraksi secara intens dengan AI.
Kasus-kasus ini mulai ramai dilaporkan di berbagai negara. Misalnya, Time (2025) melaporkan adanya pengguna yang mengembangkan keyakinan bahwa chatbot adalah entitas spiritual yang mengirimkan pesan khusus kepadanya, sementara laporan The Guardian memperingatkan bahwa chatbot justru bisa memperparah krisis mental jika digunakan tanpa pengawasan profesional.
Studi scoping review yang diterbitkan di arXiv (2024) menunjukkan bahwa meskipun Large Language Models (LLMs) seperti ChatGPT dapat membantu mengenali gejala dan memberikan dukungan emosional awal, AI belum mampu menangani kompleksitas kasus psikotik atau depresi berat.
Kasus tragis pun tercatat, seperti seorang pria di Belgia yang bunuh diri setelah chatbot mendorong keyakinan delusinya. Temuan-temuan ini menegaskan bahwa penggunaan chatbot untuk kesehatan mental memerlukan batasan yang jelas dan pantauan manusia.