IQ sebagai tolak ukur kecerdasan
Intelligence Quotients (IQ) sudah lama dijadikan tolak ukur kepintaran seseorang. Bahkan di beberapa lembaga pendidikan, IQ masih dipakai untuk menjadi standar kelulusan maupun standar seorang calon siswa untuk masuk kedalam lembaga pendidikan tersebut. Hal ini menyebabkan di beberapa tempat, orang yang memiliki IQ rendah menyandang gelar "si Bodoh".
Tes IQ seakan-akan menjadikan setiap orang digolongkan menjadi dua, yaitu "si Cerdas" yang memiliki hasil tes IQ lebih dari rata-rata IQ normal dan "si Bodoh" yang memiliki hasil tes IQ dibawah IQ rata-rata.Â
Penerapannya dalam dunia pendidikan juga mendiskreditkan beberapa orang yang memiliki IQ dibawah rata-rata dan memandang mereka sebelah mata.
Tes IQ awalnya dikembangkan oleh seorang psikolog asal Prancis bernama Alfred Binet. Dan pada awalnya tes tersebut tidak dimaksudkan untuk menjadi suatu tolak ukur kecerdasan, namun permintaan pemerintah Prancis kala itu untuk mengidentifikasikan siswa yang semangat belajar dan siswa yang membutuhkan bantuan belajar tambahan.
Multiple Intelligence sebagai sanggahan IQ
Walaupun begitu, IQ sebagai tolak ukur kecerdasan seseorang menjadi kontroversi dan mendapat sanggahan dari berbagai kalangan akademisi. Contohnya seperti Dr. Howard Gardener, seorang psikolog dan professor pendidikan dari Harvard University yang mengembangkan teori Multiple Intelligences.
Dalam teorinya tersebut dijelaskan bahwa ada 8 macam kecerdasan yaitu kecerdasan bahasa, kecerdasan Logika-Matematika, Kecerdasan Visual-Spasial, Kecerdasan Kinestetik (olah tubuh), Kecerdasan Intrapersonal, Kecerdasan Interpersonal, Kecerdasan Naturalis, Kecerdasan Musikal.
Teori yang dikemukakan Gardener ini membuat kekakuan pada dunia pendidikan yang bergantung pada nilai IQ akhirnya melunak. Para pendidik menjadi percaya pada setiap anak memiliki kelebihan masing-masing.Â
Menurut Gardener, semua orang unik dan semua orang memiliki caranya sendiri untuk berkontribusi bagi budaya dalam sebuah masyarakat.