Mohon tunggu...
Rahmatal Riza
Rahmatal Riza Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya Rahmatal Riza, lahir di Jakarta dan tumbuh di Depok. Namun ketika banyak orang mengejar pusat, saya justru memilih melangkah ke Banda Aceh—bukan karena ingin menjauh, tapi karena ingin lebih dekat dengan denyut tanah yang sering dilupakan. Saat ini saya adalah mahasiswa Pengembangan Masyarakat Islam di UIN Ar-Raniry. Perpindahan dari kota ke “ujung barat” ini bukan sekadar geografis, tapi juga ideologis. Saya belajar bahwa kebenaran tak selalu datang dari atas panggung. Tulisan saya lahir dari pertemuan antara dua dunia, kota besar yang serba cepat dan Aceh yang punya ritmenya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Aceh Butuh Sekolah Bukan Barak

10 Juni 2025   05:26 Diperbarui: 10 Juni 2025   05:26 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG


Beberapa minggu terakhir, kita disuguhi berita "membanggakan", Pangdam Iskandar Muda audiensi dengan pelaksana pembangunan Batalyon Teritorial Pembangunan (YTP). Empat barak TNI direncanakan berdiri di Pidie, Nagan Raya, Aceh Tengah, dan Aceh Singkil. Pangdam Iskandar Muda menyampaikan dalih dari pembangunan ini merupakan langkah strategis dalam memperkuat pertahanan wilayah sekaligus mendekatkan TNI kepada masyarakat.

Sebagai mahasiswa, penulis bertanya, masyarakat yang mana? Yang atap sekolahnya bocor dan duduk di kursi patah? Yang harus keluar dari rumah untuk mendapatkan sinyal bagus? Atau masyarakat yang selama ini dijaga oleh solidaritas masyarakat dan guru honorer dengan gaji seadanya?
Pembangunan barak memang tidak menyalahi aturan apa pun. Tapi saya tidak berbicara aturan di sini. Sebagai mahasiswa dengan fokus sosial, berbicara prioritas masyarakat menjadi sebuah ruang yang memang harus disediakan oleh otak saya setiap hari. Ketika rakyat kelaparan, dan yang jadi buruh terus-menerus ditakdirkan hanya jadi buruh, tanpa pernah naik kelas, tanpa pernah punya ruang dan kesempatan untuk bermimpi lebih. Ketika kelas pekerja dipaksa bertahan di tempat yang sama, tanpa akses naik kelas sosial, tanpa pendidikan bermutu, negara justru sibuk memperkuat aparatus kekuasaan.

Logikanya janggal. Aceh sedang krisis dalam banyak hal, pendidikan, lapangan kerja, kesehatan mental anak muda, akses informasi. Tapi negara justru menggelontorkan sumber daya untuk mendirikan barak. Bukannya memperkuat fondasi masyarakat, negara malah sibuk mempertebal tembok kekuasaan. Aceh tidak kekurangan lahan, tapi kami butuh tempat layak untuk berpikir, bukan untuk menyimpan senjata.

Lihat ke Aceh Tengah, tepatnya di Linge. Beberapa sekolah dasar di sana rusak parah. Bocor di mana-mana, kayu lapuk, papan tulis retak dan fasilitas sanitasi nyaris nihil. Siswa tetap belajar, tentu karena anak-anak Aceh punya semangat yang luar biasa. Ini bukan pujian, ini gugatan. Mengapa anak-anak harus berjuang dua kali lipat hanya untuk mendapatkan hak dasarnya? Katanya, solusi untuk hal ini sedang diupayakan dan akan dibawa ke Banda Aceh.
Sumber: Tinjau Dua SD di Linge Plt Kadis Pendidikan Aceh Tengah Akan Temui BPPW Aceh DIALEKSIS :: Dialetika dan Analisis.
Sekolah Rusak di Linge Segera di Carikan Solusi dan Proses Penyelesaian ke Banda Aceh -- KABARGAYO.CO.ID

Inilah logika pembangunan yang sesat, negara lebih cepat membangun barak ketimbang memperbaiki papan tulis.

Kami bukan anti militer, tapi kami anti ketidakadilan. Kami anti logika pembangunan yang menuhankan beton tapi meminggirkan pendidikan. Kami muak dengan pembangunan yang lebih peduli pada seragam dan senjata, daripada buku dan kesejahteraan guru. Kalau negara serius seperti yang disampaikan Pangdam Iskandar Muda untuk menjaga Aceh, maka jagalah otak-otak mudanya. Bukan dengan senjata tapi dengan buku.

Aceh menghadapi krisis ganda saat ini, krisis pendidikan dan kepercayaan. Banyak sekolah hancur, guru honorer dibayar seadanya, akses teknologi terbatas dan literasi masyarakat jalan di tempat. Bukannya menganggap ini sebagai kondisi darurat, negara malah menganggap sesuatu yang darurat adalah pembangunan ini harus disegerakan. Seolah Aceh sedang dalam kondisi genting. Padahal pun kalau genting, itu bukan karena masyarakat memberontak, bukan karena banyak mahasiswa unjuk rasa, tapi karena rakyat sudah terlalu lama diabaikan.

Lebih dari itu, penulis mencium aroma ideologis dalam pembangunan barak ini. Seolah negara ingin menegaskan: "Kami masih punya kuasa atas tanah ini". Kekuasaan macam apa yang ditegakkan di tengah bangunan sekolah yang hampir roboh? Apa artinya kalau barak yang kuat, tapi rakyat tak bisa berpikir merdeka?

Logika kekuasaan seperti ini bukan hal baru. Ia sudah lama hadir dalam negeri ini. Mengakar sejak Orde Baru hingga pascareformasi yang katanya demokratis. Dalam logika ini, "kemananan" selalu dijadikan alasan untuk memperluas kendali. Pembangunan ini bukan cuma proyek fisik, tetapi ada arti simbolik di mana negara ingin menunjukkan bahwa kekuasaan negara tetap dan terus berdiri kokoh, bahkan ketika buku-buku sudah mulai usang. Ia ingin merasa kita "dijaga", padahal yang kita butuhkan adalah penjaminan atas hak-hak dasar bukan untuk diawasi gerak-geriknya.

Barak adalah simbol vertikal, tegak, keras, hierarkis. Sementara sekolah adalah simbol horizontal, ruang dialog, pertumbuhan bersama dan kebebasan berpikir. Jika negara takut pada rakyat yang terdidik, itu artinya negara belum selesai berdamai dengan sejarah kekuasaannya sendiri. Karena rakyat yang terdidik tidak bisa diatur dengan spanduk dan seremoni. Mereka bertanya, mengkritik, bahkan menggugat.

Aceh sudah cukup lama jadi halaman belakang dalam narasi pembangunan nasional. Dulu dikurung konflik, sekarang dikurung dalam kemiskinan struktural. Tapi wajah represi hari ini bukan lagi senapan laras panjang, melainkan pembangunan yang bias kuasa. Negara seharusnya tidak membangun rasa aman dengan menunjukkan kekuatan. Rasa aman dibangun lewat jaminan hidup yang layak, rasa aman dibangun dengan penjaminan atas kesehatan masyarakat, tumbuhnya ruang berpikir yang layak, terbukanya lapangan kerja yang layak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun