Mohon tunggu...
Bare minimum writer
Bare minimum writer Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

The past is just a story we tell ourselves -Samantha-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tidak Ada Kata 'Batas' untuk Disabilitas

3 Desember 2019   05:22 Diperbarui: 3 Desember 2019   05:22 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Hari ini, 3 Desember 2019, untuk yang ke-27 kalinya dunia merayakan hari disabilitas internasional, termasuk negara kita yang tercinta Indonesia. Hari Disabilitas Internasional atau the United Nations International Day of Persons with Disabilites/ UN IDPD) pertama kali diperingati pada tahun 1992 yang dipromotori oleh PBB. 

Hari peringatan ini dibuat dengan tujuan agar seluruh masyarakat dunia dapat memperluas cakrawala serta sudut pandang mereka terhadap kaum disabilitas, sehingga masyarakat dunia sadar akan hak, martabat serta kesetaraan yang dimiliki kaum disabilitas tersebut dalam mencapai kemakmuran serta menggapai tujuan dan cita-cita mereka.

Di Indonesia sendiri, saat ini pemerintah sedang berusaha keras untuk membuat negara ini menjadi rumah yang layak untuk seluruh warga negaranya, tak terkecuali untuk kaum penyandang disabilitas. Keseriusan pemerintah ini dapat kita lihat dari dibuatnya fasilitas-fasilitas umum yang ramah bagi penyandang disabilitas, seperti tangga, toilet, hingga jalan trotoar. Dari segi hukum atau regulasi sendiri, pemerintah Indonesia sudah membuat terobosan dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Undang-undang tersebut diganti karena dianggap belum memliki sudut pandang terkait hak asasi manusia (HAM).

Dari contoh-contoh sebelumnya, dapat kita lihat bahwa pemerintah Indonesia memang serius untuk menghadirkan kesetaraan yang utuh bagi para penyandang disabilitas, agar mereka mampu memiliki kesempatan yang sama seperti orang lain. Namun, pada kenyataanya usaha tersebut belum cukup untuk menghadirkan kesetaraan yang utuh itu, ini dapat kita lihat dari maraknya kasus-kasus diskriminasi terhadap para penyandang disabilitas. Misalnya seperti kasus yang menimpa seorang dokter gigi bernama Romi Syofpa Ismael yang namanya dicoret dari daftar PNS oleh Pemkab Solo, dengan alasan disabilitas. Kemudian ada kasus yang dialami oleh Wuri Handayani yang merupakan seorang lulusan dari Universitas Airlangga, di mana surat lamaran yang ia buat ditolak oleh panitia CPNS kota Surabaya hanya karena ia menggunakan kursi roda.

Melihat kasus diskriminasi tersebut, apakah menyandang status sebagai kaum disabilitas menjadi alasan penghalang seseorang untuk meraih apa yang dia cita-citakan? Apakah hal tersebut relevan dengan abad ke-21 ini? Menurut Saya pribadi, hal tersebut sudah tidak relevan lagi dengan zaman sekarang, di mana perkembangan teknologi terus terjadi seiring dengan berjalannya waktu, dan rasa ingin tahu manusia yang tiada habisnya menjadi bahan bakar tersendiri untuk menciptakan teknologi yang lebih mutahir. Hal ini dapat kita lihat dari munculnya penemuan penemuan berteknologi tinggi, yang pada awalnya kita anggap hal tesebut hanya imajinasi belaka. Seperti virtual assistant yang dapat mengerjakan tugas dan pelayanan tertentu bagi individu yang memilikinya, meja layar sentuh, teknologi rumah pintar, dan masih banyak lagi penemuan-penemuan lain dalam bidang teknologi yang membuat manusia bisa menjalankan aktivitas apapun dengan mudah.

Berangkat  dari uraian sebelumnya, dapat kita lihat bahwa dengan teknologi, tidak ada yang tidak mungkin bagi manusia, semua pekerjaan manusia bisa dilakukan lebih mudah dengan adanya teknologi tersebut. Maka dengan demikian disabilitas bukan merupakan suatu halangan bagi seseorang untuk dapat meraih apa yang dia cita-citakan, karena saat ini  banyak teknologi yang membuat para penyandang disabilitas tersebut dapat melakukan pekerjaan sama seperti orang lain, bahkan mungkin lebih. Misalnya kisah dari seorang fisikawan yang sangat terkenal bernama Stephen Hawking. Ia merupakan seorang fisikawan yang terkenal dengan pembuktiannya akan teori relativitas dari Albert Einstein yang menyebutkan bahwa ruang dan waktu memiliki periode awal dan periode akhir. Dari hal tersebut ia membuat suatu teori yang sangat terkenal mengenai Black Hole, yang menyatakan bahwa Black Hole tersebut tak seluruhnya berwarna hitam, tetapi itu juga memancarkan radiasi lalu kemudian menghilang. Stephen Hawking meninggal pada tanggal 14 Maret 2018. Ia memiliki penyakit yang bernama Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS) yang merupakan penyakit yang belum diketahui 90% penyebabnya, dan penyakit ini menyerang sistem syaraf gerak Hawking sehingga ia tidak dapat menggerakan kaki, lengan dan wajahnya. Alhasil ia pun harus menggunakan kursi roda khusus berteknologi tinggi untuk menunjang aktivitasnya sehari-hari.

Kisah serupa pun datang dari tanah air. Habibie Afsyah, merupaka seorang pria pengidap penyakit  Muscular Dystrophy Progressive yang menyebabkan badannya lumpuh dan bentuk tubuhnya tidak sempurna. Hal ini disebabkan karena adanya kesalahan pada fungsi otot, sehingga ia pun harus duduk dan menjalani hidupnya dengan dibantu kursi roda. Namun, karena keiinginannya yang sangat besar untuk membahagiakan orang tua, ditambah dengan kemampuan intelektual nya yang di atas rata-rata, ia pun pergi ke Singapura selama tiga minggu untuk mengikuti kegiatan pelatihan marketing. Sepulangnya ke Indonesia ia pun langsung mendaftarkan dirinya menjadi affiliate pada situs jual beli daring, Amazon. Dan sekarang ia sukses dalam menjalankan karirnya tersebut. Dari sini, dapat kita lihat beberapa persamaan yang  mereka berdua miliki. Yang pertama, mereka sama-sama memiliki keterbatasan fisik. Yang kedua, mereka memiliki semangat hidup yang tinggi dan tidak pantang menyerah untuk meraih apa yang mereka inginkan. Dan yang ketiga, mereka dapat memanfaatkan segala sumber daya yang ada dengan baik seperti teknologi dan sumber daya lainnya, sehingga keterbasan yang mereka miliki tidak membuat mereka menjadi sedih dan putus asa. Ketiga persamaan tersebut membawa mereka pada terwujudnya cita-cita yang mereka impikan.

Pada akhirnya semua manusia itu diciptakan sama oleh Tuhan. Tidak ada yang lebih tinggi dari yang lain dan tidak ada yang lebih rendah dari yang lain. Yang membedakan hanyalah bagaimana mereka menyikapi kekurangan dan kelebihan mereka. Yang membedakan hanyalah bagaimana mereka berjuang dan mampu beradaptasi dengan lingkungan mereka, serta bisa memanfaatkan sumber daya yang ada. Tulisan ini Saya tutup dengan mengutip perkataan Stephen Hawking:

"The downside of my celebrity is that I cannot go anywhere in the world without being recognized. It is not enough for me to wear dark sunglasses and a wig. The wheelchair gives me away." 

"Sisi buruk selebritis Saya adalah bahwa Saya tidak bisa pergi ke mana pun di dunia tanpa dikenali. Hal ini tidak cukup bagi Saya untuk memakai kacamata hitam dan wig. Ternyata kursi roda ini yang membuka jalan."

Semangat kawanku semua!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun