Mohon tunggu...
Rahma Roshadi
Rahma Roshadi Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer Bahagia

Penikmat tulisan dan wangi buku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Batas Aurat Suara Perempuan

10 Maret 2021   05:15 Diperbarui: 11 Maret 2021   02:01 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi Suara Perempuan. (sumber: freepik.com)

Perempuan adalah intan berlian. Gemerlapnya meyilaukan. Keindahannya menunjukkan kemewahan. Jika tak mampu meraihnya, lebih baik tundukkan pandanganmu saja. Jika tak ingin berlianmu hilang dicuri orang, maka lindungi dia dengan sempurna.

Sebait kalimat di atas, penulis ciptakan untuk menggambarkan kondisi perempuan yang seharusnya. Sebuah kebanggaan ketika perempuan ditempatkan sebagai keindahan. Menjaganya bukan hanya membuatnya tetap suci, tetapi juga akan jauh dari pandangan orang-orang yang hendak mencuri. 

Namun, di saat yang sama orang lupa, bahwa intan berlian tak ubahnya bongkahan batu juga. Dia masih perlu diasah, sebelum muncul nilai yang mewah. Menutupi atau menyembunyikannya bukanlah solusi, karena otak jahil pencuri pasti jauh lebih bernyali.

Diskusi tentang perempuan dan ekstremisme kekerasan, adalah sebuah jalan panjang cerita di negeri ini. Orang hanya melihat perempuan sebagai korban kekerasan yang didera secara fisik saja.

Padahal, ada imbas yang jauh lebih berbahaya dari cacat fisik, yaitu kekerasan yang sudah merasuk kepada penguasaan sikap mental perempuan, sehingga mempengaruhi perilakunya.


Sebagai contoh, tak sedikit kasus bom bunuh diri yang melibatkan perempuan sebagai pelaku. Radikalisme pun tampak kasat mata melibatkan perempuan dalam gelombang jumlah yang besar. Faktanya, sebagian besar dimotori oleh alasan keyakinan agama, khususnya Islam.

Tidak dipungkiri bahwa agama yang damai ini membawa pesan khusus untuk perempuan. Baginda Nabi Muhammad salallaahu alaihi wasallam memberikan teladan yang indah, ketika beliau menunjukkan sikap hormat yang luar biasa kepada para istrinya, yang senantiasa diperlakukan dengan adil, sesuai petunjuk ilahi. 

Perlakuan lemah lembut nabi kepada sang istri adalah contoh yang sudah sangat cukup bagi umat Islam, untuk memperlakukan perempuan sesuai fitrahnya sebagai makhluk yang sangat perlu dilindungi. 

Tidak berhenti sampai di sana, Islam pun mengajarkan teladan untuk taat kepada pemimpin (suami), sebagai sebuah jalan mudah menuju surga keridhoan Allah Ta'ala.

Namun demikian, penghormatan kepada lemahnya perempuan, dalam konteks kebutuhan perlindungan yang lebih dibandingkan laki-laki, dan kepada suami sebagai sosok yang wajib ditaati, rupanya dimanfaatkan oleh kelompok yang melihat peluang dari jumlah penganut agama ini, yang menduduki peringkat pertama di dunia, begitu juga di Indonesia. 

Sebut saja, tak sedikit aksi partai politik yang mengatasnamakan Islam untuk mendapatkan suara. Gelombang demonstrasi berkedok syariat Islam pun, bukan tidak mungkin, digawangi oleh para pemangku kepentingan.

Fenomena ini menarik sekaligus menyedihkan. Karena ada setitik kecerdasan seseorang yang bisa memanfaatkan peluang dari penganut agama mayoritas untuk mewujudkan kepentingannya. 

Di sisi lain, skill yang digunakan sangatlah menyedihkan, yaitu memanfaatkan sebuah syariat suci bertajuk "penghormatan", untuk mendapatkan kesempatan dihormati secara berlebihan. 

Agama damai ini bukanlah sebuah agama abal-abal dengan tafsir gugeliyah. Satu hadis dengan hadis lain, satu ayat Al-Qur'an dengan ayat yang lain adalah sebuah kesinambungan yang saling mengisi dan melengkapi dengan sempurna. Itulah sebabnya, agama ini bukanlah akidah yang boleh ditelan mentah-mentah. Bahkan, perlu waktu seumur hidup untuk mempelajari agama ini dan menjadi orang yang suci.

Perempuan yang termakan oleh isu "penghormatan" kepada suami, saya katakan, adalah sebuah cinta buta yang justru mengesampingkan kecintaan dan penghormatan sepenuhnya yang seharusnya hanya untuk Sang Pencipta. 

Sangat betul bahkan diwajibkan perempuan tunduk kepada laki-laki yang menjadi suaminya, namun hanya dalam hal yang makruf yang tidak menimbulkan kerugian sekecil apapun bagi orang lain. 

Maka ketika sang suami menjanjikan sebuah surga kepada istri dengan cara melakukan bom bunuh diri, segarkanlah akal kita dengan skala prioritas yang logis. Apakah dibenarkan menempati surga yang suci dengan cara yang kotor? Terlebih lagi, surga terlalu luas untuk hanya ditempati berdua.

Isu "penghormatan" yang keliru berikutnya adalah ketika perempuan hanya disimpan saja di dalam rumah, dengan dalih menghormati kesuciannya. 

Tidak ada yang keliru dengan perempuan yang tidak bekerja. Hal yang tidak tepat adalah ketika perempuan hanya diam dan bahkan dibiarkan diam tanpa ruang pendapat atas apa yang dia butuhkan dan inginkan. 

Perempuan yang tidak bekerja, bukan berarti tidak boleh memiliki pemikiran yang kritis terhadap lingkungannya. Menghormati perempuan dengan cara menutupi dan menyembunyikan dalam diam, sama saja dengan membunuh otak manusia secara perlahan.

Perempuan boleh saja memilih untuk hanya tinggal di rumah, sepanjang itu semua berlandaskan murni dari pendapatnya dan keinginannya sendiri. 

Jangan sampai ada perempuan yang tinggal di rumah hanya semata-mata karena kepatuhan kepada suami, sementara sebagai individu dia menginginkan kebebasan dan kesempatan berpendapat yang setara. 

Suara perempuan adalah aurat, manakala dia mengumbarnya dengan nafsu di hadapan para lelaki hidung belang. Suara perempuan dalam berpendapat sama sekali bukan aurat, melainkan bentuk penghormatan yang seharusnya dari seorang laki-laki terhormat.

Penghormatan kepada istri yang diteladankan oleh baginda nabi, bukan berarti perempuan tidak memiliki ruang gerak di masyarakat. Perhatikan Hadhrat Khadijah yang tetap berniaga dengan tekun setelah menikah, dan Nabi pun tetap mendapat penghormatan yang layak sebagai suami meskipun keadaan ekonomi beliau berada jauh di bawah sang istri. 

Baginda Nabi juga tidak semena-mena memperlakukan Hadhrat Aisyah meskipun menikahinya di usia muda. Semua semata karena penghormatan yang logis, murni bertujuan kepada sang ilahi, bukan karena birahi.

Sampai sejauh ini, saya memandang bahwa ekstremisme kekerasan kepada perempuan, hanya dapat dilawan dengan suara perempuan juga. 

Kendatipun seorang perempuan tidak memiliki waktu yang cukup untuk berorganisasi atau berorasi, setidaknya dia memiliki keberanian untuk bersuara kepada orang terdekatnya, yaitu sang suami. 

Perlawanan tidak identik dengan turun ke jalan atau mengubah undang-undang, melainkan hanya dengan menjadi seorang perempuan yang mampu dan mau berpikir kritis, menolak patuh kepada hal yang merugikan diri sendiri dan orang lain, bersikap terbuka kepada kritik dan cerdas dalam menangkap serta memahami informasi. 

Hal-hal tersebut sudah sangat cukup untuk mengikis kekerasan kepada perempuan, setidaknya bagi diri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun