Mohon tunggu...
Rahma Roshadi
Rahma Roshadi Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer Bahagia

Penikmat tulisan dan wangi buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kahyuna

21 Maret 2019   15:30 Diperbarui: 21 Maret 2019   15:40 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Tuan, sesungguhnya, Hamba juga merasakan kesedihan, seperti yang Tuan rasakan sekarang."

"Aku tidak perlu belas kasihmu, Arcarya."

"Bukan itu, Yang Mulia. Kesedihan hamba ini, bukan semata-mata karena Tuan telah kehilangan Maung, tetapi lebih kepada kehilangan hamba pada Patih Pandya."

"Kau...Kau juga bersekongkol dengan Pandya untuk mendoakan keburukan negeri ini, Arcarya?!"

"Bukan begitu maksud hamba, Tuanku, kemarin, hamba tidak sengaja mendengar pembicaraan Yang Mulia dengan Patih Pandya tentang keanehan perilaku Maung. Hamba, atas dasar keilmuan yang hamba miliki, membenarkan perkataan Patih Pandya bahwa Maung sebenarnya telah mendekati ajalnya. Patih telah mengatakan yang sebenarnya, Yang Mulia."

Raja Suman terdiam mendengar perkataan Pendeta Arcarya.

"Apa yang terlihat oleh Tuanku, adalah perilaku alami dari binatang sejenis Si Maung ketika mendekati ajalnya. Itulah sebabnya, keputusan Tuan untuk menghukum patih ke Danau Kahyuna, membuat hamba merasa terguncang. Ini adalah keputusan yang keliru, karena Yang Mulia baru saja menjatuhkan hukuman kepada punggawa kerajaan yang tidak bersalah."

Raja Suman kali ini benar-benar terbelalak mendengar penjelasan Pendeta Arcarya. Raja hanya bisa memandangi Sang Guru yang dikenal tinggi derajat keilmuannya. Permohonan pamit Pendeta Arcarya pun tak terdengar oleh raja yang semakin merasa lemah. Dia tidak saja kehilangan Si Maung dan Patih Pandya, tapi kini ia merasa telah kehilangan kewibawaannya sebagai seorang raja. Raja yang seharusnya bijak dalam menerapkan keputusan yang adil dan penuh welas asih, terselimuti oleh amarahnya hanya karena kesedihanya kehilangan Si Maung, binatang yang ia sayangi.

Kabar tentang kekeliruan raja menghukum Patih Pandya terdengar hingga ke seluruh perlosok negeri. Seluruh rakyat benar-benar terkejut dengan pemerintahan Raja Suman yang telah salah menjatuhkan hukuman kepada orang yang tidak bersalah. Hampir seluruh rakyat tersulut amarahnya. Mereka tidak lagi mau mempercayai rajanya. Rakyat merasa tertipu oleh kedok pemerintahan Raja Suman yang selalu bertutur baik di hadapan rakyat banyak. Mereka lalu membangkang setiap titah yang disampaikan oleh utusan kerajaan. 

Kemarahan rakyat menyulut keserakahan yang merajalela. Rakyat kini hanya berharap hidup mereka dapat terus berlangsung dengan memiliki banyak persediaan makanan, tanpa peduli bagaimana cara mereka mendapatkannya. Tidak ada lagi yang memperdulikan keadilan, kebersamaan dan kesejahteraan bagi setiap insan. Semua berebut. Semua mencuri. Semua mengambil paksa hak orang lain yang lebih lemah.

Kekacauan ini juga menjadi beban bagi hakim kerajaan yang hampir setiap saat dihadapkan pada pengaduan pencurian, perampokan, perebutan lahan, hingga perampasan hak orang lain. Hakim kerajaan, namun demikian, tidak pula bisa berbuat banyak, karena sedikitnya keterangan yang ia dengar dari rakyat. Sang hakim pun akhirnya hanya sebatas pada melaksanakan tugasnya sebagai seorang hakim kerajaan. Dia banyak menghukum orang. Dia banyak menyeret rakyat untuk masuk ke Danau Kahyuna, satu-satunya tempat hukuman yang dimiliki oleh kerajaan ditengah hutan wanadra. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun