Mohon tunggu...
rahmad nasir
rahmad nasir Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Seorang aktivis mahasiswa Cipayung. Tinggal di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru dalam Himpitan HAM

9 Juni 2016   10:47 Diperbarui: 9 Juni 2016   11:06 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Baru-baru ini dunia pendidikan heboh dengan kasus yang menimpa guru biologi Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Bantaeng yang akhirnya ditahan polisi pada 12 Mei bulan lalu karena mencubit siswanya yang mengganggunya saat shalat dhuha dengan siraman air yang mengenai sang guru. Kasus itu berlanjut saat siswa tersebut melaporkan Nurmayani kepada orang tua dan langsung dilaporkan kepada kepolisian setempat. Hal ini banyak disayangkan tokoh-tokoh bangsa karena mereka lahir dari didikan yang keras di sekolah. Kasus serupa terjadi lagi pada tanggal 19 Mei 2016 di Kalimantan Barat yang menimpa seorang guru honorer karena mencukur rambut siswanya yang kemudian dibalas lagi oleh orang tua siswa yang mendatangi rumah guru Jamilah untuk mencukur rambut guru tersebut.

Dua kasus di atas terjadi dalam satu bulan yang telah menyita perhatian berbagai pihak apalagi bagi pelaku pendidikan dalam berbagai tingkatan. Jika diperhatikan dari waktu ke waktu pendidikan guru terhadap siswanya di sekolah mengalami pergeseran dari yang lebih keras secara fisik ke arah non fisik yang lebih manusiawi karena terbentur dengan alasan Hak Azasi Manusia (HAM) yang makin menguat wacananya di akhir-akhir ini. Padahal, banyak pemimpin di era kini diproduk dengan didikan yang keras semasa di bangku sekolah. Saya begitu teringat zaman sekolah dahulu dari TK hingga SMA selalu mendapat pembinaan secara fisik yang keras namun tak pernah sekali pun melapor kepada orang tua karena sudah pasti orang tua akan semakin marah dan memberikan tambahan didikan keras secara fisik kepada saya. Pembinaan keras itu seperti tamparan, cubitan, dipukul pakai kayu, dibentak dan sebagainya. Satu hal lagi yang menjadi faktor lain untuk tidak melapor ke orang tua adalah adanya gengsi takut dibilang cengeng oleh teman-teman,  alasan lain yang sangat ditakuti adalah mendapat bullying dari teman-teman karena melapor orang tua dan hal itu dikatakan sangat memalukan. Pemandangan lainnya adalah jika anak melapor ke orang tua, orang tua memang akan datang ke sekolah namun niatnya ke sekolah untuk berterima kasih kepada guru yang telah memberikan pembinaan tersebut.

Saya yakin banyak diantara orang-orang yang telah menempati posisi-posisi startegis pembangunan bangsa ini mendapat perlakuan yang sama seperti itu dari guru-gurunya karena zaman itu belum terlalu menguat wacana HAM. Percaya atau pun tidak, didikan yang keras cukup membangun karakter, contohnya adalah didikan di perkaderan militer (TNI) yang disebut sebagai perkaderan terbaik nomor satu di Indonesia. Kiranya pembentukan karakter seperti yang diutarakan Erie Sudewo (2011) bahwa dalam pembentukan kualitas manusia, peran karakter tidak dapat disisihkan. Sesungguhnya karakter inilah yang menempatkan baik tidaknya seseorang. Posisi karakter bukan jadi pendamping kompetensi, melainkan jadi dasar, ruh atau jiwanya.

Dalam dunia pendidikan dalam arti sempit yang terjadi di sekolah dan ruang-ruang kelas, peran guru sangat penting dalam pengajaran transfer ilmu, namun juga pada “mendidik” dalam transformasi nilai. Kedua hal ini harus berjalan dalam satu rangkaian kegiatan belajar mengajar (KBM) sehingga ketercapaian taksonomi Bloom yakni aspek kognitif, afektif dan psikomotorik dapat dicapai dengan baik. Oleh karena itu, guru kadang mendapat penilaian yang tidak adil seperti jika anak didik tidak naik kelas atau tidak lulus ujian nasional yang sering disalahkan adalah guru. Padahal, ada banyak variabel/faktor yang mempengaruhi keberhasilan satu rangkaian pembelajaran di sekolah seperti faktor kurikulum, sarana prasarana, lingkungan dan sebagainya bahkan dapat dilihat dalam 8 Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang tertuang dalam PP RI nomor 19 tahun 2005.

Ada dua sudut pandang dalam dua kasus di atas yakni pandangan orang tua bahwa ini murni tindakan kekerasan/kriminal, sementara pandangan guru bahwa ini murni dalam nuansa mendidik. Oleh karena itu, dalam dua sudut pandang inilah yang perlu didiskusikan dan disatukan persepsi bahwa sampai dimana batasan kekerasan kriminalitas dan sampai dimana batasan mendidik?. Edwar Sallis (1993: 32) dalam kajian “Total Quality Management in Education” mendeskripsikan bahwa Guru adalah pelanggan internal dalam hal jasa, orang tua adalah pelanggan eksternal, dan siswa adalah pelanggan utama pendidikan, sementara sekolah adalah perusahaan yang memproduksi output dan outcome pendidikan. Dengan demikian maka hubungan guru orang tua sangat erat sehingga membangun komunikasi yang intens lewat komite sekolah baik secara formal maupun non formal sangat dibutuhkan dalam upaya saling memahami sudut pandang masing-masing dalam hal mendidik. Jika terjadi perbedaan bisa didiskusikan secara baik dalam mencari solusinya, ini semua butuh kebijaksanaan dari berbagai pihak.

Terlalu mengagung-agungkan HAM dalam dunia pendidikan telah membuat pergeseran yang sangat luar biasa. Banyak asumsi mengatakan bahwa anak didik sekarang semakin “kurang ajar” dengan gurunya karena bersembunyi di balik HAM dan kebebasan berekspresi. Guru lantas tak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa menonton dengan teguran lisan yang maha lembut karena bisa saja hanya sekedar lisan pun dianggap kekerasan lisan dan disebut tindakan tidak menyenangkan dalam bahasa hukum. Apalagi guru berani bermain tangan, tentu konsekuensinya adalah menginap di balik jeruji besi milik lembaga yudikatif di negeri ini. Dunia pendidikan apalagi guru dalam dilematis terpojok diantara keinginannya untuk mendidik dan ancaman HAM yang siap menerkamnya kapan saja jika ia salah mengambil sikap. Saya yakin bahwa tindakan guru tidak sedikitpun niatnya untuk membenci anak didiknya atau untuk menyakitinya dengan tindakan kekerasan, didikannya yang keras pasti dilandasi rasa cinta yang mendalam demi untuk kebaikan masa depan anak-anaknya karena jika anak berprestasi dan bermanfaat bagi bangsa dan negara maka itulah satu-satunya kebahagian profesi mulianya. Jika tidak adanya kata sepakat dengan bahasa ini maka cukuplah nurani guru yang mengetahuinya.


Dengan demikian, orang tua harus bisa memahami dan membijaki posisi guru yang serba dilematis menghadapi anak-anaknya yang super aktif pada masa pertumbuhannya sehingga jika ada kasus yang sama terlebih dahulu didiskusikan dengan pihak sekolah secara kekeluargaan tanpa terburu-buru bermain hakim sendiri bahkan berani melapor guru bersangkutan ke pihak kepolisian, sementara pemerintah harus mendukungnya dengan kebijakan yang pro terhadap guru dalam kasus ini. Jika pemerintah tidak menghargai guru maka tunggulah kehancuran bangsa ini. PGRI tidak boleh diam untuk memperjuangkan nasib guru. Salam solidaritas guru Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun