Begitu juga jika kami bepergian dengan pesawat. Bandara di luar Pulau Jawa sama bagusnya dengan bandara di Pulau Jawa. Itu tidak bisa dipungkiri. Kami tidak fanatik pada siapapun, tapi hanya mencoba saja untuk lebih bersyukur.
"Bersyukurlah, maka akan Kutambah nikmatmu" adalah janji Allah SWT yang tercantum dalam Alquran Surat Ibrahim ayat 7.
Keputusan kami untuk tidak membicarakan politik di rumah juga berpengaruh pada anak kami. Anak pertama kami adalah seorang remaja putra gen Z. Suatu hari dia bercerita pada saya jika ada teman sekelasnya yang selalu bicara politik di sekolah dan menjelek-jelekkan pemerintah.
Putra saya kemudian bilang, bagaimana bisa temannya itu menjelekkan pemerintah, sedangkan dia sendiri adalah anak yang nakal dan buang sampah saja masih sembarangan. Putra saya juga bilang daripada sibuk menjelekkan pemerintah lebih baik sibuk mikirin 'usahanya'.
Putra saya ini sudah belajar berjualan dari sejak SD dan itu adalah inisiatifnya sendiri. Dia berjualan puding atau makanan lainnya di sekolah walaupun tidak setiap hari. Ketika masuk SMP, dia jualan mobil mainan di toko online. Kini, dia duduk di kelas X dan menjual minuman kopi racikan sendiri yang dia titip di koperasi sekolah.
Dia juga bercerita tentang rencananya yang ingin mendirikan PP (Perseroan Perorangan) saat sudah mempunyai KTP sendiri dan saat kuliah nanti berkeinginan untuk membiayai kuliahnya sendiri. Tidak tahu apakah rencana putra saya ini akan berhasil atau tidak di masa depan. Sebagai ibu, saya berusaha untuk men-support dan juga mendoakan yang terbaik.
Di sini, saya ingin berbagi bahwa lingkungan rumah yang bebas dari kekhawatiran masa depan akibat terus menerus memikirkan carut marut politik adalah baik untuk anak.
Putra kami tidak pesimis dengan masa depan, sebaliknya dia sangat optimis. Yang dia tahu, jualan toko online-nya masih berjalan dan ada peluang untuk jualan minuman di koperasi sekolah.
Kebetulan juga, kami tinggal di area yang populasi warga keturunan Tionghoa-nya cukup banyak. Profesi sebagian besar dari mereka adalah wirausahawan. Suami saya selalu memberi contoh tentang hal baik yang ada pada mereka.
Suami saya bilang, tidak pernah kita dapati warga keturunan Tionghoa demo ke jalan atau protes karena tidak setuju pada kebijakan pemerintah. Mereka tetap menjalani hidup dan berdagang seperti biasa. Siapapun presidennya, usaha mereka bisa tetap eksis dan bahkan diwariskan pada keturunannya.
Suami saya selalu mengingatkan bahwa yang harus kami lakukan adalah jalani peran kami masing-masing dengan baik. Lagipula, dalam agama Islam yang kami anut, ada perintah untuk menaati pemimpin. Dalam suatu hadits juga ada jaminan bahwa sembilan dari sepuluh pintu rezeki adalah dari berdagang. Rezeki juga sudah diatur Allah.