Beberapa tahun yang lalu, saya dan keluarga pindah rumah ke suatu area di Bandung Selatan. Setelah tinggal di sana, kami baru tahu kalau ternyata area tersebut merupakan salah satu area yang populasi warga keturunan Tionghoanya cukup banyak.
Jujur saja, dari kecil sampai besar, saya sering mendengar cerita yang beredar tentang warga keturunan Tionghoa. Entah siapa yang memulainya, tapi cerita kurang baik yang menggambarkan warga keturunan Tionghoa jadi menimbulkan stereotip kurang baik tentang mereka.
Setelah saya dan keluarga tinggal di lingkungan baru itu, barulah saya mengetahui fakta yang sebenarnya. Fakta bahwa orang keturunan Tionghoa tidak seperti yang diceritakan. Sebagai gambarannya, kini kami tinggal di komplek perumahan yang dua pertiga penghuninya adalah warga keturunan Tionghoa.
Kami tinggal di komplek perumahan itu dengan rukun. Kami saling bertegur sapa, saling membantu, dan saling memberi.
Pada saat Imlek, salah satu tetangga saya yang keturunan Tionghoa selalu mengirim dodol Cina ke tetangga sekitar rumahnya. Hal ini konsisten dia lakukan setiap tahun.
Dia juga mempunyai cucu yang suka bermain dengan anak saya. Sebut saja namanya Koko dan Cici. Suatu hari, mereka bermain dengan anak saya di rumah kami. Koko yang masih TK menceritakan jika dia sangat suka sate babi. Dia pun bertanya pada anak saya, "Kamu suka sate babi gak?"
Sontak Cici menegurnya, "Eh dia gak boleh makan, itu kan haram."
Saya dan suami saya yang mendengarnya tertawa mendengar obrolan polos anak-anak itu. Ternyata Cici yang masih SD tahu juga tentang haramnya sate babi untuk umat muslim.
Kami tidak membatasi anak-anak kami untuk bermain bersama anak tetangga walaupun berbeda keyakinan. Malah hal ini bagus buat mereka supaya mereka belajar saling menghargai dan menghormati perbedaan dari sejak anak-anak.
Sekarang, setelah mereka bertambah besar dan sibuk sekolah, mereka sudah tidak bermain bersama lagi. Koko dan Cici tetap bersikap sopan dan murah senyum bila bertemu dengan kami.
Ada juga tetangga non muslim yang memberikan kue ketika kami merayakan hari raya Idul Fitri. Saya pun menerima kuenya dengan senang hati. Walaupun saya tidak bisa membalas para tetangga dengan memberi kue yang khusus untuk diberikan ketika hari Natal ataupun Imlek, saya membalas pemberian dari mereka itu di hari lain. Jika saya dan keluarga habis bepergian, kami usahakan selalu membawa oleh-oleh untuk diberikan pada mereka.
Begitu juga dengan ucapan hari raya. Ibu-ibu keturunan Tionghoa dan non muslim lainnya di kelompok arisan RT selalu mengucapkan selamat hari raya pada saya dan anggota lain yang muslim, tapi kami tidak membalas mengucapkan selamat hari raya pada mereka ketika mereka merayakan hari rayanya. Meskipun begitu, mereka memakluminya dan tetap berhubungan baik dengan kami. Mereka juga masih tetap mengucapkan hari raya pada kami sampai saat ini.
Kami hidup damai dan penuh toleransi di sana. Jumlah masjid di komplek perumahan kami berjumlah 4 buah, sedangkan gereja berjumlah lebih dari 2x lipatnya. Jika di Jakarta ada Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral yang menjadi simbol kerukunan antar umat beragama, maka di komplek perumahan kami pun ada masjid dan gereja yang berdiri berdampingan, hanya terhalang oleh jalan selebar 7 meter.
Pindah rumah ini juga memperkaya selera makan kami. Setelah pindah ke area ini, kami jadi suka Kopitiam dan Chinese food. Banyak restoran Kopitiam dan restoran Chinese food yang halal di sana. Saya baru tahu kekayaan rasa masakan Cina maupun masakan peranakan setelah saya pindah ke sana.
Sebelum pindah ke area tempat tinggal kami sekarang, saya suka merasa ragu untuk mencoba masakan Chinese food, walaupun ada logo halalnya. Hal itu karena stereotip Chinese food yang suka memasukkan bahan berasal dari babi. Sekarang, Kopitiam menjadi tempat sarapan favorit kami. Kami juga jadi suka makanan Sichuan.
Ada beberapa hal positif dari mereka yang mempengaruhi kami. Mereka suka hidup aktif dan berolah raga, baik yang masih muda maupun yang sudah tua. Mereka jogging, taichi, aerobik, pingpong, dan yang lainnya.
Selama tinggal di area ini, kami jadi terbawa suka jogging. Selain itu, banyak studio senam di area ini sehingga saya pun jadi ikutan aerobik. Suami saya pun gemar bermain pingpong karena terdapat beberapa perkumpulan pingpong di sini. Tentu ini jadi hal yang positif buat kesehatan kami.
Sebagian besar dari warga keturunan Tionghoa di area ini bermatapencaharian sebagai wirausahawan. Di Kopitiam, mereka suka bertemu dan berbicara bisnis, tidak jarang mereka menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa pengantar. Hal itu membuat kami jadi tertular semangat berwirausaha dari mereka. Ini selalu menjadi pengingat bagi kami kalau kami juga bisa setangguh mereka.
Mereka tidak mengandalkan gaji, tapi mereka berusaha sendiri dan terlihat jika usaha mereka bisa berjalan walaupun pastilah mereka juga pernah merasakan pahitnya dulu. Efeknya, banyak lapangan kerja tercipta di area ini. Tentunya itu bermanfaat bagi warga sekitar.
Kami jadi heran dengan orang yang iri pada kemajuan ekonomi yang mereka capai dan malah memiliki sentimen negatif pada mereka. Mereka adalah pekerja keras yang mindsetnya bukan digaji sehingga mereka harus berusaha dengan tekun jika ingin maju dan makmur.
Kesimpulannya, setelah saya merasakan tinggal di sana, saya jadi tahu jika stereotip yang berkembang selama ini adalah salah. Tentu semua orang pasti ada kurang dan salahnya, apapun suku, ras, maupun agamanya. Tapi, mari kita lihat sisi baiknya yang lebih banyak.
Kepindahan saya dan keluarga ke area ini seperti membuka cara pandang kami. Kadang orang tidak paham karena tidak tahu. Orang juga cenderung berburuk sangka padahal tidak pernah benar-benar mengenal. Mari kita lebih terbuka pada perbedaan dan hidup rukun demi kedamaian bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI