Mohon tunggu...
Rahayu Damanik
Rahayu Damanik Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu Rumah Tangga

Best in Specific Interest Kompasianival 2016

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menghirup Eksistensi Budaya dan Kemurnian Alam Baduy di Tengah Gempuran Arus Modernisasi

3 April 2016   23:25 Diperbarui: 29 Agustus 2016   12:05 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Rumah adat Baduy (gamexeon.com)"][/caption]“Yes!!” Saya berteriak dan melompat kegirangan karena akhirnya suami menyetujui untuk menemani saya ke Baduy. Sudah dua minggu semenjak Kompasiana memublikasikan acara “Rayakan Kekhasan Baduy bersama Kompasiana dan KOMPAS.com” saya membujuk suami agar bisa menemani ke Baduy karena sudah berusaha mencari teman yang lain untuk pergi ke Baduy namun tidak ada yang bisa. Kami berangkat ke Baduy hari Jumat kemudian pulang ke rumah pada Sabtu sore. Saya yakin pasti kunjungan ke Baduy menjadi sesuatu yang tidak akan terlupakan karena yang saya baca, alam Baduy sangat alami dan segar. Bagaimana tidak? Suku Baduy sangat mempertahankan adat istiadat yang tidak lekang di tengah gempuran arus modernisasi.

Kampung oppung (orang tua dari bapak saya) sebenarnya juga sangat jauh di pedalaman Sumatera Utara. Namun, sejauh-jauhnya kampung tersebut tetap berbeda dengan alam Baduy. Sesegar-segarnya kampung oppung saya, masih ada asap motor, limbah detergen, dan asap rokok. Suku Baduy itu sangat unik, tidak akan ditemukan di belahan dunia mana pun. Suku Baduy khususnya Baduy Dalam bila pergi ke mana-mana tidak pakai sandal, menolak listrik, pendidikan formal, bahkan tidak memakai pasta gigi, shampo, sabun mandi, atau detergen. 

Mau ke mana-mana hanya mengandalkan kaki tanpa sandal. Eksotisme budaya dan kemurnian alam yang benar-benar membuat saya tergiur. Akhirnya tibalah hari yang ditunggu-tunggu. Jumat tanggal 1 April 2016 setelah menyelesaikan sedikit urusan keluarga, saya dan suami meluncur ke perkampungan Baduy menggunakan kereta yang menuju stasiun Rangkas Bitung. Dari stasiun tersebut kami menaiki bus ukuran ¾ menuju Ciboleger yang merupakan pintu masuk perkampungan Baduy.

Tiba di Ciboleger sekitar pukul 3 sore kami harus melapor ke posko dan mendapat tawaran untuk dipandu tour guide. Saya setuju ditemani pemandu karena benar-benar buta wilayah Baduy. Setengah jam setelah kami tiba di Ciboleger dan berdiskusi mengenai rute yang akan dijalani akhirnya hujan turun dengan sangat derasnya sehingga terpaksa harus berteduh dulu di rumah keluarga kang Uha (tour guide) kami yang juga terletak di daerah Ciboleger. Hujan ternyata mengguyur cukup lama sampai sekitar pukul 18.30. Artinya tidak mungkin kami pergi menuju ke wilayah perkampungan Baduy yang bisa menempuh perjalanan empat sampai enam jam lamanya. Padahal saya berencana ingin menginap di wilayah Baduy Dalam namun apa boleh buat, cuaca tidak memungkinkan.

[caption caption="Awan gelap menyambut kedatangan kami di Ciboleger (dokpri Rahayu)"]

[/caption]

[caption caption="Ciboleger (dokpri)"]

[/caption]

Saya pun akhirnya memutuskan untuk menginap di Baduy luar saja. Setelah makan malam di warung makan Ciboleger, pukul 19.30 kami menyusuri jalan dari Ciboleger menuju ke perkampungan Baduy luar. Hujan masih sedikit gerimis, namun supaya tidak kemalaman menuju perkampungan Baduy Luar saya, suami, dan kang Uha menembus jalan berbatu yang sangat licin. 

Tekad baja membuat kami berani menembus kegelapan malam yang begitu pekat dari Ciboleger menuju perkampungan Baduy Luar. Saya tidak bisa melihat apa-apa selain jalan setapak berbatu di depan kaki saya yang diterangi senter. Gelap gulita, hanya terdengar suara gemericik air sungai dan suara jangkrik di sekeliling hutan yang kami lalui. Hutan? Entahlah itu apa karena saya sungguh tidak bisa melihat saking gelapnya. Tidak ada cahaya bulan sama sekali, sesekali saya menggeser senter ke kiri dan kanan, hanya tampak pepohonan.

Kang Uha berjalan di depan kami dengan santainya, tidak seperti saya yang cukup kesulitan menempuh jalan berbatu nan licin dan kebingungan karena gelap yang menyergap. Setengah jam perjalanan, akhirnya kami tiba di salah satu perkampungan Baduy Luar, saya menyenter ke kiri dan kanan banyak rumah-rumah suku Baduy namun seolah-olah di sana tidak ada penghuni karena tidak ada penenarangan sama sekali. 

Agak lega karena samar-samar saya melihat beberapa anak muda yang berkumpul di depan rumah mereka dengan cahaya lampu seadanya. Ternyata perkampungan ini ada penghuninya. Akhirnya kami tiba di sebuah rumah suku Baduy dan menginap di sana sebelum esok pagi melanjutkan perjalanan ke perkampungan Baduy yang lebih dalam.

[caption caption="Kami bermalam di rumah Pak Karim Baduy Luar (dokpri Rahayu)"]

[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun