Sosiolog pasti geleng-geleng. Ini bukan revolusi. Ini viralitas. Rakyat bawah nggak mikir rumit. Ketemu tren, ikut. "Biar nggak FOMO," kata Lia, 20 tahun, tukang laundry dan ketua geng motor Nakama Girls. "Tapi jujur, aku suka Luffy. Dia orang miskin tapi berani lawan bos-bos jahat. Kayak kita, cuma beda nasib."
Apakah ini pertanda kesadaran kelas? Atau cuma efek sambel terlalu pedas?
Menurut Bang Juki, yang buka tambal ban sekaligus admin akun One Piece Cikarang Fans, ini soal identitas. "Kita kan bingung, jadi warga negara kok susah mulu. Punya bendera baru tuh kayak punya harapan baru." Sekilas receh, tapi di balik tawa dan meme, tersimpan keresahan kronis: tentang hidup yang makin mahal dan negara yang terasa kayak episode filler - panjang, membingungkan, dan nggak nyambung.
Republik yang Lelah, Tapi Masih Ketawa
Di tengah kecemasan tentang masa depan bangsa - entah karena utang negara, krisis iklim, atau FOMO Ibu Kota pindah - bendera bajak laut ini jadi pelarian kolektif. Semacam coping mechanism. Kita nggak bisa berlayar cari harta karun, tapi bisa menempel stiker Luffy di motor dan merasa gagah.
Satpol PP? Sudah mulai repot. "Kami sudah tertibkan beberapa bendera bajak laut di area publik," kata seorang petugas. "Takut disalahartikan sebagai simbol makar." Padahal warga cuma pengen gaya, bukan kudeta.
Tapi ya, siapa tahu? Di negeri di mana rakyatnya makin susah, dan elite makin enteng bicara, kadang bendera bajak laut terasa lebih jujur dari pidato kenegaraan. Minimal, Luffy nggak janji palsu.
Mimpi Kecil di Tiang Bambu
Di gang sempit itu, angin sore terus menerbangkan bendera Topi Jerami. Ucok menatap langit dan berkata lirih, "Kalau Luffy jadi presiden, gue yakin dia hapus utang pinjol."
Kami semua tertawa. Getir. Tapi ya... ketawa.
Karena begitulah cara warga negara +62 bertahan. Lewat tawa, bendera, dan harapan kecil dari dunia fiksi. Di dunia nyata, kami rakyat biasa. Tapi di bawah bendera bajak laut, kami adalah nakama sejati