Di ujung gang sempit pinggir Bekasi, berdiri tiang bambu reot dengan dua bendera berkibar. Satu Merah Putih, satunya lagi hitam dengan tengkorak bertopi jerami. "Ini bendera Republik Topi Jerami," kata Ucok, 19 tahun, sambil nyengir sambil nyruput kopi sasetan di teras kontrakan. "Presidennya, Luffy. Kita di sini rakyatnya."
Fenomena ini bukan cuma terjadi di Bekasi. Dari Cilacap sampai Ciledug, dari tambak-tambak Wonosobo sampai flyover Kebayoran, bendera bajak laut dari anime One Piece sedang naik daun. Berkibar gagah di motor, tiang bambu, bahkan dipakai anak-anak buat upacara 17-an latihan. Lucunya: nggak ada yang benar-benar ngerti kenapa.
"Keren aja, Bang. Biar nggak ngebosenin kayak bendera negara," kata Deni, ojek online senior, sambil mengecek tarif promo aplikasi biru. "Lagi pula, Luffy itu jujur. Temannya banyak. Lawannya orang kaya."
Sebentar. Ini anime atau manifestasi kegelisahan sosial?
Bendera Hitam dan Negara Perasaan
Di negara +62, pengibaran bendera biasanya urusan sakral. Tapi warga akar rumput kadang suka bikin remix. Remix ideologi. Ketika realitas pahit dan negara terasa jauh, ya warga bikin negara sendiri. Versi fan-made. Republic of Nakama.
"Bukan kita anti-Pancasila, Bang," ujar Pak RT Mahmud, 55 tahun, veteran pengurus iuran ronda. "Tapi kan negara suka ngilang pas kita butuh. Sementara Luffy itu setia. Gak korupsi."
Uuups!
Ini semacam kontrak sosial ala anime. Karena harga cabai naik dan bansos telat, masyarakat mencari pemimpin alternatif - syaratnya sederhana: setia kawan, anti - elit, suka membantu yang lemah. Maka Luffy naik tahta, minimal di hati warga warung kopi.
Antara Ikut-Ikutan dan "Ngerti Dikit"