Bayangkan sebuah negeri yang wajahnya menghadap laut. Bukan sekadar membentangkan pantai berpasir putih untuk brosur pariwisata, melainkan membangun peradaban dari garis pantai itu sendiri.
Indonesia pernah memandang laut sebagai halaman belakang. Selama bertahun-tahun, pembangunan memusat di darat, memunggungi lautan, seakan laut adalah ruang kosong yang tak lebih dari batas geografi. Padahal, lautan adalah denyut nadi sejarah negeri ini.
Kini, konsep Waterfront City mengemuka sebagai jalan tengah antara pembangunan dan potensi maritim yang terlalu lama dibiarkan. Kota-kota pesisir didorong bukan hanya berdamai dengan air, tetapi hidup bersamanya---menjadikan laut sebagai pusat ekonomi, budaya, bahkan identitas.
Namun, sejauh mana janji itu ditunaikan?
Kota di Tepi Air, Mimpi di Tepi Realitas
Waterfront City bukanlah barang baru. Singapura dengan Marina Bay-nya, Belanda dengan Rotterdam, atau Jepang dengan Yokohama, adalah contoh bagaimana garis pantai bisa menjelma pusat urban yang dinamis. Di Indonesia, cikal bakal konsep ini muncul di beberapa kota---Jakarta dengan Pantai Indah Kapuk, Makassar dengan Losari, dan Surabaya yang mulai menata wilayah pesisir.
Tapi, masalah klasik menghadang: tata kelola yang belum matang, konflik kepentingan dalam reklamasi, hingga ketimpangan antara pembangunan dan kesejahteraan masyarakat pesisir. Infrastruktur ada, tetapi siapa yang menikmatinya?
Membangun Waterfront City bukan semata membangun gedung-gedung mewah di bibir pantai, melainkan merancang ulang hubungan manusia dan laut. Tanpa paradigma baru, kota pesisir hanya akan menjadi panggung beton yang kering makna.
Mindset Maritim: Mulai dari Bangku Sekolah
Ada yang absen dalam pembangunan maritim kita: kesadaran sejak dini. Kurikulum pendidikan nasional masih darat-sentris. Anak-anak tumbuh jauh dari laut---bahkan di wilayah pesisir sendiri.