Mohon tunggu...
Rahadi Wangsapermana
Rahadi Wangsapermana Mohon Tunggu... Pemerhati Perang Asimetris

Kemajuan bangsa sangat bergantung pada kepemimpinan yang memahami kearifan lokal, mengoptimalkan kekuatan agraris dan maritim, serta menjaga kebhinnekaan dari ancaman perang asimetris, baik secara internal maupun eksternal.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pujian itu Candu: Refleksi Pencegahan NPD Sejak Dini

23 Juli 2025   09:28 Diperbarui: 23 Juli 2025   09:28 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Satu hal yang jarang dibicarakan dengan jujur oleh banyak orang dan enggan untuk mengakuinya adalah candu terhadap pujian. Ia bukan sekadar kebutuhan sesekali untuk diakui, melainkan bisa tumbuh menjadi racun psikologis yang diam-diam membentuk kepribadian. Dalam istilah psikologi modern, dikenal sebagai Narcissistic Personality Disorder---atau lebih ringkasnya, NPD.

Saya menulis ini bukan untuk menggurui, tapi untuk berbagi, juga sebagai refleksi diri, dari seseorang yang pernah menjadi penikmat pujian, dan pada akhirnya, nyaris hancur karenanya.

Lahir Sebagai Anak Lemah, Tumbuh Dengan Dendam

Saya lahir sebagai anak yang secara fisik lemah. Sakit adalah langganan, bahkan sekadar kena angin atau minum es bisa membuat tubuh saya demam dan langsung tumbang. Padahal, saya tumbuh dari keluarga yang luar biasa suportif. Ayah-ibu saya tipe orang tua demokratis, terbuka, dan sangat menyayangi anak-anaknya. Namun dunia luar tidak sebaik rumah saya.

Mereka yang melihat tubuh saya yang kurus dan ringkih sering membully, mencemooh, mengejek tanpa empati. Saya mulai menyimpan amarah. Dendam itu membara dalam diam, menjelma dalam bentuk ambisi. Saya ingin membungkam mereka semua---bukan dengan otot, tapi dengan prestasi.

Saya mulai membaca rak demi rak buku. Belajar tanpa kenal waktu. Di usia remaja, ketika kondisi badan saya membaik karena menekuni dengan serius Bela Diri pernapasan, saya kalap. Segala bidang saya jajal: musik, olahraga, menulis, bahkan drumband. Dan benar saja---penghargaan demi penghargaan datang. Tapi rupanya, itu bukan akhir cerita. Itu adalah awal dari candu baru: candu pujian.

Pujian Itu Candu, dan Saya Jadi Pemakainya

Saat tubuh mulai kuat, kehidupan saya berubah total. Jika dulu diejek karena sakit-sakitan, kini saya dielu-elukan sebagai anak serbabisa. Lulus SMA saya diterima di Institut Teknologi Bandung, perguruan tinggi bergengsi pada saat itu, tentu saja saya menuai pujian, bahkan dari saudara-saudara yang dulu membully saya, sementara mereka tidak seberuntung saya dalam hal pendidikan. Saya menikmatinya. Terlalu menikmati, bahkan. Di usia dewasa awal, saat dunia kerja mulai menyapa, saya sudah dalam posisi yang banyak diidamkan orang lain. Tapi di balik pencapaian itu, ada lubang yang saya tutupi dengan topeng kebanggaan.

Saya mulai merasa paling hebat. Tak mau dikritik. Setia kawan pun luntur, karena fokus saya hanya satu: dikagumi. Bahkan dalam tim kerja, saya lebih banyak memaksakan kehendak. Ya bisa dibilang toxic lah... Merasa diri paling tahu, paling benar.

Dan seperti semua candu, pujian punya efek samping: ketika dosisnya berhenti, saya mulai "sakaw". Resah, gelisah, merasa hampa ketika tidak ada yang memuji. Hingga akhirnya, saya tertipu dalam sebuah bisnis yang semula saya kira akan menambah kejayaan. Ternyata malah menjerumuskan saya hingga titik nol. Bahkan minus. Itupun akibat kesalahan besar saya, tidak mendengar nasehat istri saya karena saya merasa paling benar. Sungguh bodoh.

Patah, Tapi Tidak Hancur

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun