Mohon tunggu...
Rahadi Wangsapermana
Rahadi Wangsapermana Mohon Tunggu... Pemerhati Perang Asimetris

Kemajuan bangsa sangat bergantung pada kepemimpinan yang memahami kearifan lokal, mengoptimalkan kekuatan agraris dan maritim, serta menjaga kebhinnekaan dari ancaman perang asimetris, baik secara internal maupun eksternal.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bangsa Ini Terlalu Sibuk Menyatukan, Sampai Lupa Tak Pernah Benar-benar Satu

22 Juli 2025   21:27 Diperbarui: 22 Juli 2025   21:27 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak perlu heran jika nasionalisme Indonesia kerap oleng. Di negeri yang dibangun dari mozaik ribuan pulau, ratusan suku, dan berbagai kitab suci, semangat kebangsaan kerap beradu punggung dengan ikatan primordial. Dan, anehnya, yang menang sering bukan persatuan, tapi ikatan lama yang mencengkeram: darah, agama, dan kedaerahan.

Nasionalisme memang terdengar agung. Konsep yang dirancang para pendiri republik ini---yang lahir dari sebuah kongres dan dideklarasikan dengan semangat juang---bertujuan mempersatukan yang majemuk. "Bhinneka Tunggal Ika" adalah janji. Tapi dalam praktiknya, nasionalisme di Indonesia lebih sering terdengar sebagai slogan 17-an ketimbang kesadaran kolektif.

Sementara itu, di balik panggung, primordialisme tetap menyelinap di ruang-ruang sempit: dari bilik suara hingga bangku rekrutmen pejabat.

Nasionalisme: Imajinasi yang Disepakati

Dalam bukunya, Imagined Communities, Benedict Anderson menyebut bangsa sebagai "komunitas yang dibayangkan". Indonesia adalah salah satu imajinasi paling ambisius abad ke-20. Nasionalisme di sini adalah proyek rekayasa sosial besar-besaran---yang menghendaki seorang Batak, Bugis, Dayak, atau Tionghoa merasa dirinya "Indonesia" sebelum menyebut asal-muasalnya.

Negara menempatkan nasionalisme sebagai alat pemersatu, kadang-kadang juga sebagai tameng penyeragaman. Di sekolah, di iklan layanan masyarakat, bahkan di sinetron, nasionalisme dikemas rapi: berbaju pramuka, berlagu Indonesia Raya. Ia hadir sebagai wacana luhur yang menenggelamkan identitas-identitas kecil yang dianggap pengganggu.

Tapi apakah nasionalisme mampu mengalahkan naluri dasar manusia untuk pulang ke akar? Di sinilah persoalannya.

Primordialisme: Pulang ke Asal, Menolak Lupa

Kenyataan berkata lain. Di bawah kulit nasionalisme yang dibingkai undang-undang dan sumpah pemuda, primordialisme mengendap dalam urat nadi kehidupan. Sebab manusia, pada dasarnya, mencari kenyamanan dalam kesamaan.

Di banyak kasus, kita melihat gejala berulang: pemilihan pejabat berdasarkan kedaerahan, konflik horizontal antar kelompok, hingga sentimen agama yang meledak saat kampanye. Identitas kerap menjadi senjata, bukan jembatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun