Tak perlu heran jika nasionalisme Indonesia kerap oleng. Di negeri yang dibangun dari mozaik ribuan pulau, ratusan suku, dan berbagai kitab suci, semangat kebangsaan kerap beradu punggung dengan ikatan primordial. Dan, anehnya, yang menang sering bukan persatuan, tapi ikatan lama yang mencengkeram: darah, agama, dan kedaerahan.
Nasionalisme memang terdengar agung. Konsep yang dirancang para pendiri republik ini---yang lahir dari sebuah kongres dan dideklarasikan dengan semangat juang---bertujuan mempersatukan yang majemuk. "Bhinneka Tunggal Ika" adalah janji. Tapi dalam praktiknya, nasionalisme di Indonesia lebih sering terdengar sebagai slogan 17-an ketimbang kesadaran kolektif.
Sementara itu, di balik panggung, primordialisme tetap menyelinap di ruang-ruang sempit: dari bilik suara hingga bangku rekrutmen pejabat.
Nasionalisme: Imajinasi yang Disepakati
Dalam bukunya, Imagined Communities, Benedict Anderson menyebut bangsa sebagai "komunitas yang dibayangkan". Indonesia adalah salah satu imajinasi paling ambisius abad ke-20. Nasionalisme di sini adalah proyek rekayasa sosial besar-besaran---yang menghendaki seorang Batak, Bugis, Dayak, atau Tionghoa merasa dirinya "Indonesia" sebelum menyebut asal-muasalnya.
Negara menempatkan nasionalisme sebagai alat pemersatu, kadang-kadang juga sebagai tameng penyeragaman. Di sekolah, di iklan layanan masyarakat, bahkan di sinetron, nasionalisme dikemas rapi: berbaju pramuka, berlagu Indonesia Raya. Ia hadir sebagai wacana luhur yang menenggelamkan identitas-identitas kecil yang dianggap pengganggu.
Tapi apakah nasionalisme mampu mengalahkan naluri dasar manusia untuk pulang ke akar? Di sinilah persoalannya.
Primordialisme: Pulang ke Asal, Menolak Lupa
Kenyataan berkata lain. Di bawah kulit nasionalisme yang dibingkai undang-undang dan sumpah pemuda, primordialisme mengendap dalam urat nadi kehidupan. Sebab manusia, pada dasarnya, mencari kenyamanan dalam kesamaan.
Di banyak kasus, kita melihat gejala berulang: pemilihan pejabat berdasarkan kedaerahan, konflik horizontal antar kelompok, hingga sentimen agama yang meledak saat kampanye. Identitas kerap menjadi senjata, bukan jembatan.