Mohon tunggu...
Rahadi Wangsapermana
Rahadi Wangsapermana Mohon Tunggu... Pemerhati Perang Asimetris

Kemajuan bangsa sangat bergantung pada kepemimpinan yang memahami kearifan lokal, mengoptimalkan kekuatan agraris dan maritim, serta menjaga kebhinnekaan dari ancaman perang asimetris, baik secara internal maupun eksternal.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Civil Intelligence: Belajar Membaca yang Tak Tertulis, Mendengar yang Tak Dikatakan

22 Juli 2025   13:18 Diperbarui: 22 Juli 2025   13:18 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dunia tidak lagi hitam-putih. Perang tak selalu memakai seragam. Serangan tidak selalu datang dalam bentuk peluru. Di era disrupsi dan informasi yang mengalir deras tanpa saringan, perang telah berubah wujud. Ia menjelma dalam bentuk operasi intelijen, perang asimetris, dan manipulasi persepsi. Lalu, bagaimana kita, warga negara biasa, bisa tetap hidup tenang---tanpa lengah, tanpa takut, dan tetap cerdas?

Perang yang Tak Berbunyi

Perang di abad ke-21 tidak lagi didominasi dentuman meriam dan deru tank. Ia hadir dalam bentuk yang lebih senyap: operasi intelijen, perang informasi, infiltrasi ekonomi, sabotase digital, bahkan adu domba sosial. Ini yang disebut sebagai perang asimetris---perang tak seimbang yang menyasar titik-titik lemah bangsa dari dalam.

Targetnya bukan lagi garis perbatasan, tapi pikiran masyarakat. Bukan serangan militer langsung, tapi opini publik yang direkayasa, stabilitas sosial yang diganggu, dan kepercayaan pada negara yang perlahan-lahan dikikis.

Dalam medan seperti ini, aktor-aktor intelijen bermain di balik layar. Bekerja sunyi. Kadang disebut bayangan, kadang hanya mitos. Mereka bisa berasal dari luar negeri, bisa pula dari dalam negeri. Tujuannya bukan sekadar informasi---tapi pengaruh.

Operasi Sunyi di Ruang Terbuka

Operasi intelijen modern tak lagi berada di ruang tertutup dan arsip rahasia. Ia kini beroperasi di linimasa media sosial, dalam narasi-narasi buatan, akun-akun anonim, bahkan "pakar dadakan" yang berseliweran di layar kaca.

Berita bohong, video palsu, dokumen bocoran yang belum tentu benar, hingga teori konspirasi yang sengaja disebar untuk mengaburkan kebenaran---semuanya adalah alat dalam perang persepsi. Dan celakanya, banyak warga yang menjadi korban tanpa sadar. Tanpa peluru, tapi tetap terluka. Bukan fisik, tapi akal sehat.

Inilah medan baru perang asimetris: keheningan yang merusak dari dalam.

Jangan Paranoia, Tapi Jangan Juga Naif. Lalu muncul pertanyaan: bagaimana kita sebagai warga negara harus bersikap?

Tidak mudah memang hidup di tengah situasi yang penuh kabut informasi. Tapi bukan berarti kita harus hidup dalam paranoia. Kecurigaan berlebihan hanya akan mempercepat disintegrasi, membuat masyarakat kehilangan kepercayaan satu sama lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun