Peringkat FIFA tidak ditentukan oleh mimpi, melainkan oleh konsistensi: kontinuitas pertandingan internasional, kualitas lawan, serta kestabilan kompetisi domestik.
Saat ini, Liga 1 belum mampu menciptakan ritme kompetisi yang sehat. Banyak klub masih menghadapi persoalan finansial dan manajemen, sementara pembinaan usia muda bergantung pada inisiatif individu atau akademi swasta. Dengan struktur seperti ini, target "100 besar FIFA" terdengar seperti proyek politik, bukan strategi olahraga.
Dari Proyek ke Ekosistem
Selama bertahun-tahun, sepak bola Indonesia hidup dalam siklus pendek: ganti pelatih, ganti generasi, ganti mimpi. Kita belum pernah sungguh-sungguh membangun ekosistem sepak bola nasional yang kuat dan berkesinambungan.
Negara-negara Asia yang kini mendominasi seperti Jepang, Korea Selatan, dan bahkan Vietnam, memulai perubahan dengan reformasi menyeluruh: sistem liga yang profesional, kurikulum pelatih yang terstandar, dan budaya kompetisi usia muda yang disiplin. Mereka membangun dari akar, bukan dari puncak.
Jika PSSI ingin mewujudkan target 2030, fokus harus bergeser dari "tim nasional-sentris" menjadi "ekosistem-sentris."
Kita butuh manajemen liga yang sehat, akademi terintegrasi, data pemain yang terbuka, serta pendidikan pelatih lokal yang berbasis ilmu dan teknologi.
Tanpa itu, setiap pelatih baru hanya akan menjadi korban dari sistem yang tak kunjung berubah.
Antara Simbol dan Substansi
Erick Thohir memahami betul bahwa sepak bola adalah arena politik dan nasionalisme. Setiap langkahnya di PSSI mengandung pesan simbolik: perubahan, kebangkitan, dan harapan.
Namun simbol tanpa substansi berisiko menumpulkan makna perubahan itu sendiri.