Dalam konteks ini, tamparan kepala sekolah di SMAN 1 Cimarga menunjukkan bentuk kekuasaan yang sudah usang--yakni kekuasaan yang bekerja lewat tubuh, bukan lewat kesadaran.
Kekerasan, sekecil apapun, mengubah ruang sekolah menjadi ruang ketakutan, bukan pembelajaran. Padahal, sekolah semestinya menjadi arena sosialisasi nilai, bukan tempat penegakan disiplin lewat rasa takut.
Secara hukum, kekerasan fisik terhadap siswa tidak dibenarkan dalam kondisi apapun, sesuai Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Termasuk juga, Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan.
Siswa Merokok: Simbol Resistensi atau Kegagalan Sosialisasi?
Sementara itu, perilaku siswa yang merokok tidak bisa diabaikan sebagai "pelanggaran kecil."
Dari aspek hukum, perilaku siswa yang merokok juga merupakan pelanggaran hukum administratif dan etika pendidikan, sebagaimana diatur dalam PP 109/2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan
Larangan merokok bagi siswa juga tertuang dalam Instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2023 Tentang Implementasi Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Selain itu, banyak daerah, termasuk Provinsi Banten, memiliki Perda tentang Kawasan Tanpa Rokok, yang memperkuat penerapan PP No. 109/2012 di tingkat lokal.
Misalnya, Perda Provinsi Banten Nomor 7 Tahun 2017 tentang Kawasan Tanpa Rokok, yang juga melarang aktivitas merokok di lingkungan pendidikan dan memberikan sanksi administratif bagi pelanggar.
Dalam perspektif pendidikan karakter, perilaku merokok siswa ini menunjukkan adanya moral disengagement--sebuah kondisi di mana individu tidak lagi merasakan rasa bersalah terhadap pelanggaran aturan sosial.