Kekalahan Timnas Indonesia dari Arab Saudi dalam lanjutan kualifikasi Piala Dunia 2026 bukan sekadar skor di papan, melainkan sinyal keras bahwa euforia harus digantikan dengan evaluasi yang matang.
Laga di King Abdullah Sport City Stadium, Jeddah memperlihatkan bahwa Garuda memang sudah terbang lebih tinggi dari sebelumnya, namun sayapnya masih rapuh ketika menghadapi badai besar.
Stadion utama dengan rumput artifisial dan cuaca terik Kota Jeddah menjadi saksi bisu kekalahan Indonesia atas Arab Saudi 2-3.
Antara Euforia dan Realitas: Dimana Indonesia Berdiri Sekarang
Perjalanan Timnas Indonesia ke babak keempat kualifikasi Piala Dunia 2026 merupakan sejarah tersendiri. Ini adalah pencapaian tertinggi sejak era Hindia Belanda ikut babak awal kualifikasi pada 1938.
Namun, terlalu cepat rasanya jika pencapaian itu dianggap sebagai tanda kesiapan Indonesia bersaing dengan kekuatan besar Asia seperti Jepang, Korea Selatan, Iran, atau Arab Saudi.
Statistik dari Asian Football Confederation (AFC) menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir, Arab Saudi memiliki average FIFA ranking di posisi 59 dunia, sedangkan Indonesia baru menembus 119 besar.
Perbedaan 60 peringkat itu bukan sekadar angka; ia menggambarkan kesenjangan dalam kualitas liga, pembinaan usia muda, hingga infrastruktur taktis.
Kelelahan Kolektif dan Kekosongan Taktis
Kekalahan dari Arab Saudi memperlihatkan pola yang berulang: tim kehilangan arah setelah kebobolan.