Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Peneliti Senior Swarna Dwipa Institute (SDI)

Sosialisme Indonesia. Secangkir kopi. Buku. Puncak gunung. "Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik" [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Joglosemar Pilihan

Dari Arang Membara hingga Gelas Terbalik: Tradisi Kopi Nusantara yang Tak Lekang Waktu

5 Oktober 2025   18:17 Diperbarui: 5 Oktober 2025   18:17 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kopi Khop dari Aceh disajikan dengan cara gelas terbalik dan diberi sedotan.(Foto: infopublik.id)

Di tengah banjir kopi instan dan sachet, beberapa tradisi kopi lokal Indonesia bertahan lewat rasa, ritual, dan makna sosial--dari Kopi Joss Yogyakarta yang dicelup arang membara hingga Kopi Talua, Kopi Kawa Daun, dan Kopi Khop yang masing-masing menyimpan cerita budaya daerah.

Di Indonesia, kopi bukan sekadar minuman pengusir kantuk. Ia adalah jembatan percakapan, alasan untuk berkumpul, bahkan medium yang menyimpan jejak budaya setiap daerah.

Dari warung pinggir jalan hingga kafe modern, kopi hadir dengan wajah yang berbeda-beda. Namun, yang paling menarik adalah cara masyarakat lokal meracik dan menyajikan kopi dengan teknik unik yang diwariskan turun-temurun.

Tradisi-tradisi itu tidak lahir dari ruang kosong, melainkan dari kehidupan sehari-hari: dari keterbatasan bahan, kebiasaan gotong royong, hingga kebutuhan sosial yang membentuk ritual bersama.

Maka, ketika kita meneguk secangkir kopi lokal, sesungguhnya kita sedang menyeruput sepotong sejarah dan filosofi yang lahir dari bumi Nusantara.

Salah satu yang paling populer adalah Kopi Joss dari Yogyakarta, yang menghadirkan kejutan sederhana: segelas kopi panas dengan arang membara yang dicelupkan langsung ke dalamnya.

Kopi Joss: arang membara sebagai tanda perjumpaan

Saya lahir di lingkungan keluarga Yogyakarta yang cukup kuat menjaga tradisi. Salah satu yang masih saya ingat sampai saat ini adalah tentang Kopi Joss. Angkringan Lik Man di dekat Stasiun Tugu menjadi pelopor Kopi Joss sejak tahun 1968.

Kopi Joss muncul di Yogyakarta sebagai praktik sederhana yang cepat menjadi simbol. Secangkir kopi tubruk panas diberi sepotong arang membara--bukan untuk membakar, melainkan untuk memberi efek rasa dan sensasi.

Sentuhan arang menghasilkan bunyi khas saat menyentuh cairan, sekaligus menurunkan keasaman dan memberi aroma asap yang samar.

Secara historis, Kopi Joss lahir dari kondisi urban--warung sederhana yang melayani pekerja malam, mahasiswa, dan warga yang berkumpul sampai larut.

Arang, bahan yang mudah didapat dalam kehidupan sehari-hari (dari warung bakar atau sisa pembakaran), menjadi alat improvisasi untuk memperkaya cita rasa tanpa menambah biaya besar.

Secara sosial, ritual memasukkan arang ke kopi berfungsi sebagai titik temu: bunyi "joss" memanggil, percakapan mengalir, dan keakraban terjalin.

Jika Kopi Joss menegaskan bagaimana kreativitas sederhana bisa melahirkan tradisi yang melekat, daerah lain di Nusantara juga memiliki cara khas dalam menyajikan kopi.

Setiap daerah menambahkan "sentuhan" berbeda sesuai budaya, kebutuhan, dan lingkungannya. Dari kuning telur mentah yang diaduk hingga berbusa di ranah Minang, daun kopi yang dijadikan seduhan ringan di Sumatera Barat, sampai gelas terbalik yang jadi ikon Aceh--semua memperlihatkan bahwa kopi di Indonesia lebih dari sekadar soal rasa.

Tradisi ini menunjukkan keberagaman sekaligus kekuatan budaya: tiap cangkir mengandung kisah tentang kerja keras, kebersamaan, dan cara masyarakat lokal merayakan hidup. Mari kita menelusuri satu per satu keunikan kopi Nusantara lainnya.

Kopi Joss adalah kopi tubruk panas diberi sepotong arang membara.(Foto: kelilingjogja.id)
Kopi Joss adalah kopi tubruk panas diberi sepotong arang membara.(Foto: kelilingjogja.id)

Sekilas tentang kopi lokal lain yang unik

Kopi Talua (Minangkabau)
Kopi robusta atau arabika diseduh pekat lalu dicampur gula dan kuning telur mentah yang dikocok hingga berbusa. Tekstur menjadi kaya, rasa melembut; kandungan telur kerap dianggap memberi tenaga. Dalam praktik sosialnya, Kopi Talua hadir pada pertemuan, kerja gotong royong, dan sarana bisnis informal.

Kopi Kawa Daun (Sumatera Barat)
Tidak menggunakan biji, melainkan daun kopi yang dijemur dan disangrai sebelum diseduh. Disajikan tradisional---kadang dalam tempurung kelapa---minuman ini beraroma ringan dan lebih rendah kafein. Kawa daun adalah contoh adaptasi lokal terhadap ketersediaan sumber daya dan preferensi rasa yang berbeda.

Kopi Khop (Aceh)
Disajikan dalam gelas terbalik di atas tatakan kecil berisikan air; teknik menikmati kopi ini membutuhkan kesabaran dan teknik menyeruput dari sela gelas. Cara penyajian dan ritualnya mengundang dialog antarpenikmat serta menegaskan tata krama minum kopi yang turun-temurun.

Jejak historis dan filosofi sosial

Kopi di Nusantara tidak pernah berdiri sendiri sebagai minuman, melainkan selalu melekat pada kehidupan sosial masyarakat. Ia hadir di persimpangan sejarah kolonial, ekonomi rakyat, hingga praktik budaya yang diwariskan lintas generasi.

Maka, jejak historis setiap kopi tradisional kerap mencerminkan cara suatu komunitas menyesuaikan diri dengan zaman, sekaligus mempertahankan identitas.

Di Yogyakarta, Kopi Joss lahir dari konteks kota pendidikan dan pariwisata yang sibuk. Kehadiran arang membara di dalam gelas bukan hanya sekadar inovasi rasa, melainkan juga simbol improvisasi masyarakat Jawa yang akrab dengan kesederhanaan.

Filosofinya terletak pada keberanian untuk mencoba hal baru dengan bahan yang dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Bunyi "cess" saat arang dicelupkan menjadi semacam penanda: kopi telah siap menjadi saksi perjumpaan dan percakapan panjang malam hari.

Sementara itu, di ranah Minangkabau, Kopi Talua memuat filosofi sosial yang kuat. Campuran kuning telur, gula, dan kopi pekat bukan hanya memberikan energi, tetapi juga melambangkan perpaduan antara kekuatan (kopi), manisnya hidup (gula), dan vitalitas (telur).

Kopi ini sering hadir dalam forum musyawarah atau pertemuan keluarga, menegaskan fungsi kopi sebagai perekat dalam kehidupan komunal.

Kopi Kawa Daun dari Sumatera Barat mencerminkan kearifan lokal dalam memanfaatkan sumber daya. Saat biji kopi lebih banyak diekspor pada masa kolonial, masyarakat setempat justru menyeduh daunnya.

Dari keterbatasan itulah lahir tradisi baru. Filosofinya sederhana: manusia bisa tetap bertahan dengan kreativitas, memaknai apa yang ada di sekelilingnya.

Hingga kini, Kawa Daun menjadi simbol kesetiaan masyarakat pada warisan leluhur sekaligus bukti daya tahan budaya menghadapi perubahan.

Di Aceh, kopi tidak sekadar minuman, tetapi bagian dari identitas dan etiket sosial. Kopi Khop, yang disajikan dalam gelas terbalik, memberi pesan filosofis tentang kesabaran.

Menyeruput kopi ini tidak bisa tergesa-gesa; ia mengajarkan penghormatan terhadap waktu dan proses.

Dalam kultur Aceh, menyajikan kopi kepada tamu adalah wujud penghargaan, sementara cara menikmatinya dengan teknik khusus memperlihatkan bagaimana tradisi menjadi sarana mendidik kesopanan dan ketekunan.

Kopi Khop dari Aceh disajikan dengan cara gelas terbalik dan diberi sedotan.(Foto: infopublik.id)
Kopi Khop dari Aceh disajikan dengan cara gelas terbalik dan diberi sedotan.(Foto: infopublik.id)

Keempat tradisi kopi ini pada dasarnya menghadirkan satu benang merah: kopi bukan semata soal rasa, melainkan tentang makna sosial dan kebersamaan.

Ia menjadi medium komunikasi, tempat bertukarnya cerita, bahkan sarana untuk menjaga harmoni.

Dari arang yang membara, telur yang diaduk, daun yang diseduh, hingga gelas yang dibalik, terselip filosofi bahwa kopi adalah cermin perjalanan budaya yang kaya, adaptif, dan terus hidup.

Kenapa tradisi ini bertahan di tengah gempuran kopi sachet lokal?

  1. Rasa dan pengalaman otentik. Sachet menawarkan kenyamanan, tetapi tradisi lokal menjual pengalaman--aroma asap arang, tekstur telur yang berbusa, atau tata cara menyeruput gelas terbalik--yang tidak bisa ditiru oleh kemasan cepat saji.
  2. Nilai sosial dan ritual. Kopi tradisional adalah momen bertemu: diskusi politik lokal, tukar cerita, atau sambung silaturahmi. Ritual ini memperkuat jaringan sosial yang tidak dapat digantikan oleh minum sachet sendirian.
  3. Identitas dan kebanggaan lokal. Warung kopi yang mempertahankan cara tradisi menjadi penanda kultural--tempat warga lokal dan wisatawan mencari "rasa asli" daerah itu. Identitas ini mendorong pelestarian.
  4. Ekonomi lokal dan kearifan sumber daya. Banyak tradisi memanfaatkan bahan lokal murah (arang, daun, telur), sehingga tetap relevan bagi usaha mikro yang tidak mampu bersaing pada skala industri.
  5. Adaptasi dan pemasaran modern. Banyak pemilik warung mengemas ulang tradisi: menuliskan cerita asal usul di menu, mempromosikan lewat media sosial, atau menyediakan variasi yang lebih "instagrammable". Strategi ini menarik generasi muda tanpa mengorbankan esensi.
  6. Ketahanan cita rasa. Biji lokal, teknik seduh manual, dan perhatian pada detail menghasilkan profil rasa yang lebih kompleks ketimbang kopi sachet. Penikmat yang mencari kualitas akan kembali kepada tradisi.

Menjaga warisan dalam praktik sehari-hari

Tradisi kopi lokal tidak akan bertahan hanya dengan romantisme sejarah. Ia hidup karena ada komunitas yang terus mempraktikkannya, dari pemilik warung sederhana hingga penikmat setia yang memilih duduk berlama-lama di bangku kayu sambil menyeruput kopi hangat.

Menjaga warisan kopi Nusantara berarti menghidupkan kembali kebiasaan kecil yang membangun rasa kebersamaan, sekaligus mengajarkan nilai-nilai kultural kepada generasi berikutnya.

Setiap kali arang membara dicelupkan ke kopi, setiap kali kuning telur dikocok hingga berbusa, atau daun kopi diseduh dalam tempurung, sesungguhnya mereka sedang merawat sebuah ingatan kolektif.

Dengan memilih menyeruput kopi tradisional, setidaknya saya memberi insentif ekonomi sekaligus legitimasi budaya kepada para pelaku warung.

Kesadaran ini kian penting di era gempuran kopi sachet yang menawarkan kemudahan instan, namun tidak menghadirkan pengalaman mendalam.

Setiap kali kita memilih duduk di warung kecil untuk minum Kopi Joss atau Kopi Khop, kita sedang ikut menjaga denyut tradisi agar tidak terputus.

Pada akhirnya, menjaga kopi Nusantara bukan pekerjaan besar yang jauh dari keseharian. Ia berawal dari hal-hal sederhana: tetap membeli kopi di warung lokal, tetap bercerita sambil menyeruput, dan tetap mengingat bahwa setiap tegukan punya sejarah panjang.

Warisan itu tidak hidup di museum atau buku saja, melainkan di meja kayu sederhana tempat kita berkumpul. Dan justru di situlah kopi menemukan makna terdalamnya: sebagai jembatan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Penutup

Pada akhirnya, kopi-kopi tradisional Nusantara bertahan bukan semata karena rasanya yang khas, melainkan karena ia menyimpan sesuatu yang lebih dalam: identitas, kebersamaan, dan cerita kolektif masyarakatnya.

Di balik bunyi "joss", busa telur, aroma daun, atau kesabaran menyeruput dari gelas terbalik, terdapat cara hidup yang menolak reduksi budaya menjadi sekadar kemasan. Menikmati kopi lokal berarti turut menjaga warisan---satu cangkir, satu pertemuan, satu cerita pada satu waktu.

Di tengah derasnya arus kopi instan dan sachet yang serba cepat, kehadiran kopi seperti Joss, Talua, Kawa Daun, dan Khop mengingatkan kita bahwa keaslian punya ruang tersendiri dalam hati penikmatnya.

Kopi lokal bukan hanya soal menyeruput cairan hitam pekat, melainkan merayakan pertemuan, merawat kebersamaan, dan menjaga warisan budaya.

Setiap tegukan menjadi pengingat bahwa Indonesia memiliki khazanah rasa dan tradisi yang tidak lekang oleh zaman.

Dengan demikian, secangkir kopi Nusantara adalah warisan yang perlu dijaga: satu cangkir kopi, satu tradisi, satu identitas yang terus hidup di tengah modernitas.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Joglosemar Selengkapnya
Lihat Joglosemar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun