Di tengah banjir kopi instan dan sachet, beberapa tradisi kopi lokal Indonesia bertahan lewat rasa, ritual, dan makna sosial--dari Kopi Joss Yogyakarta yang dicelup arang membara hingga Kopi Talua, Kopi Kawa Daun, dan Kopi Khop yang masing-masing menyimpan cerita budaya daerah.
Di Indonesia, kopi bukan sekadar minuman pengusir kantuk. Ia adalah jembatan percakapan, alasan untuk berkumpul, bahkan medium yang menyimpan jejak budaya setiap daerah.
Dari warung pinggir jalan hingga kafe modern, kopi hadir dengan wajah yang berbeda-beda. Namun, yang paling menarik adalah cara masyarakat lokal meracik dan menyajikan kopi dengan teknik unik yang diwariskan turun-temurun.
Tradisi-tradisi itu tidak lahir dari ruang kosong, melainkan dari kehidupan sehari-hari: dari keterbatasan bahan, kebiasaan gotong royong, hingga kebutuhan sosial yang membentuk ritual bersama.
Maka, ketika kita meneguk secangkir kopi lokal, sesungguhnya kita sedang menyeruput sepotong sejarah dan filosofi yang lahir dari bumi Nusantara.
Salah satu yang paling populer adalah Kopi Joss dari Yogyakarta, yang menghadirkan kejutan sederhana: segelas kopi panas dengan arang membara yang dicelupkan langsung ke dalamnya.
Kopi Joss: arang membara sebagai tanda perjumpaan
Saya lahir di lingkungan keluarga Yogyakarta yang cukup kuat menjaga tradisi. Salah satu yang masih saya ingat sampai saat ini adalah tentang Kopi Joss. Angkringan Lik Man di dekat Stasiun Tugu menjadi pelopor Kopi Joss sejak tahun 1968.
Kopi Joss muncul di Yogyakarta sebagai praktik sederhana yang cepat menjadi simbol. Secangkir kopi tubruk panas diberi sepotong arang membara--bukan untuk membakar, melainkan untuk memberi efek rasa dan sensasi.
Sentuhan arang menghasilkan bunyi khas saat menyentuh cairan, sekaligus menurunkan keasaman dan memberi aroma asap yang samar.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!