Misa Syukur di Basilika Santo Petrus pada 30 September 2025 menandai 75 tahun hubungan diplomatik Republik Indonesia dan Takhta Suci Vatikan.
Perayaan ini bukan sekadar seremoni, melainkan cermin persahabatan lintas iman yang berakar pada nilai universal--dari perjuangan Palestina hingga kemanusiaan--serta menegaskan relevansi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika di panggung politik internasional.
Kompas (1/10/2025) menyebut bahwa misa ini, yang digelar di Basilika Santo Petrus menjadi yang pertama sepanjang sejarah.
Misa Syukur yang dipimpin langsung oleh Secretary of State Takhta Suci, Yang Mulia Kardinal Pietro Parolin, dihadiri sekira 300 orang, bahkan memuji Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika yang berhasil membangun hubungan antaragama di tengah tantangan yang sangat besar.
Sejarah Awal Hubungan Diplomatik
Vatikan adalah negara pertama di benua Eropa yang mengakui kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia, sejak 6 Juli 1947. Hanya berselang dua tahun setelah 1945. Saat itu Takhta Suci dipimpin oleh Paus Pius XII.
Sejak 13 Maret 1950, Republik Indonesia menjalin hubungan diplomatik resmi dengan Takhta Suci Vatikan. Di tengah upaya bangsa muda ini meneguhkan eksistensinya di dunia internasional, Vatikan termasuk salah satu pihak yang lebih awal mengakui kedaulatan Indonesia.
Fakta ini menunjukkan betapa hubungan internasional Indonesia sejak awal tidak hanya berorientasi pada kekuatan besar, melainkan juga pada entitas moral dan spiritual dunia.
Duta Besar RI pertama untuk Takhta Suci adalah Raden Soekardjo Wirjopranoto, tokoh pejuang kemerdekaan dan Pahlawan Nasional Indonesia asal Cilacap. Ia juga turut menjadi pejuang perebutan kembali Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia.
Sukardjo adalah putra dari seorang ayah yang bekerja di jawatan kereta api pada masa Hindia Belanda. Ibunya seorang keturunan seorang alim ulama, bernama Kyai Asmadi.
Penunjukan Sukardjo mencerminkan keseriusan Indonesia membangun hubungan diplomatik lintas iman. Dari sisi Vatikan, delegasi apostolik pertama untuk Indonesia adalah Monsignor Georges de Jonghe d'Ardoye, yang kemudian mempererat jalinan persahabatan bilateral.
Duapuluh tahun kemudian, Paus Paulus VI menjadi Paus pertama yang berkunjung ke Indonesia pada tahun 1970, sebuah kunjungan bersejarah yang menandai pengakuan Vatikan atas peran Indonesia di dunia.
Paus Yohanes Paulus II kemudian hadir pada 1989, menegaskan pentingnya hidup berdampingan dalam keberagaman dan menyebut Indonesia sebagai bangsa besar dengan warisan budaya kaya.
Tiga dekade kemudian, Paus Fransiskus datang pada 2024 dalam rangka kunjungan apostolik ke Asia, menekankan pesan perdamaian, persaudaraan lintas iman, dan kepedulian terhadap isu-isu global seperti kemiskinan, ketidaksetaraan, dan krisis lingkungan.
Kehadiran ketiga Paus ini menjadi tonggak penting yang memperkuat jembatan persahabatan Indonesia-Vatikan.
Serangkaian momen bersejarah itu mendapatkan penegasan kembali pada 30 September 2025, ketika Misa Syukur peringatan 75 tahun hubungan diplomatik RI-Vatikan digelar di Basilika Santo Petrus.
Perayaan tersebut bukan sekadar seremoni keagamaan, melainkan simbol keberlanjutan diplomasi lintas iman, yang menegaskan posisi Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia namun mampu menjalin persahabatan erat dengan pusat Katolik global.
Kesamaan Pandangan di Tengah Perbedaan
Meski berbeda latar sejarah, kultur, dan identitas religius, Indonesia dan Vatikan menemukan sejumlah titik temu pandangan dalam isu-isu global.
Pertama, soal kemerdekaan Palestina. Baik Indonesia maupun Takhta Suci konsisten menyuarakan hak rakyat Palestina atas tanah dan kemerdekaannya, sebuah posisi moral yang menolak ketidakadilan kolonial.
Seperti ditegaskan Bung Karno dalam pidatonya tahun 1962 di PBB, "Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menentang penjajahan Israel."
Suara itu bergema sejalan dengan seruan Paus Fransiskus yang menyatakan, "Tidak ada perdamaian tanpa pengakuan atas hak kedua bangsa untuk hidup berdampingan dengan aman."
Indonesia dan Vatikan bahkan mendorong two state solution sebagai jalan keluar atas konflik berkepanjangan di tanah Arab tersebut.
Kedua, dalam isu ketahanan pangan global, kedua pihak sama-sama menekankan pentingnya solidaritas internasional untuk mengatasi kelaparan, kemiskinan, dan ketidaksetaraan ekonomi.
Vatikan dengan kekuatan moralnya, dan Indonesia dengan posisi strategisnya sebagai negara berkembang yang berpenduduk besar, berkontribusi membangun wacana tentang kemandirian pangan dan pembangunan berkeadilan.
Ketiga, pada isu hak asasi manusia (HAM), RI dan Vatikan seringkali berada dalam barisan yang menyerukan penghormatan terhadap martabat manusia.
Meski dengan pendekatan berbeda, keduanya menolak praktik-praktik yang melanggar prinsip kemanusiaan universal.
Diplomasi Lintas Iman dan Identitas Indonesia
Hubungan diplomatik dengan Vatikan juga mencerminkan karakter diplomasi Indonesia yang inklusif dan berakar pada nilai-nilai dasar bangsa. Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika menjiwai pendekatan ini.
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, membuka ruang bagi dialog dan persahabatan lintas iman. Sementara semboyan Bhinneka Tunggal Ika menjadi dasar sosial yang memungkinkan Indonesia tampil percaya diri di panggung global sebagai bangsa yang mengelola perbedaan dengan harmoni.
Tidak bisa diabaikan bahwa Indonesia memiliki komunitas Katolik yang cukup signifikan, sekitar 3 persen dari total penduduk atau lebih dari 12 juta jiwa di tahun 2024. Angka ini menempatkan Indonesia di posisi kedua setelah Filipina sebagai negara dengan populasi Katolik terbesar di Asia Tenggara.
Kehadiran umat Katolik di Indonesia menjadi jembatan alami dalam hubungan bilateral dengan Vatikan, sekaligus bukti bahwa Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya semboyan, melainkan realitas sosial.
Dalam konteks itu, peringatan 75 tahun hubungan RI-Vatikan di Basilika Santo Petrus bukan hanya perayaan diplomatik, melainkan juga sebuah pernyataan simbolis:
Bahwa keberagaman tidak menghalangi persahabatan, dan bahwa identitas Indonesia sebagai bangsa yang majemuk justru memperkuat posisinya dalam percaturan global.
Relevansi Politik Internasional
Di tengah krisis global--dari perang, perubahan iklim, hingga disrupsi teknologi--hubungan Indonesia dan Vatikan dapat dibaca sebagai sumber inspirasi moral dan politik internasional. Ia menegaskan pentingnya soft power berbasis nilai, bukan semata kekuatan ekonomi atau militer.
Sebagaimana Vatikan menjadi rujukan moral bagi komunitas internasional, Indonesia melalui Pancasila berpotensi menawarkan model tata kelola kebangsaan yang humanis, inklusif, dan berkeadilan.
Paus Yohanes Paulus II, saat berkunjung ke Jakarta pada 1989, pernah menegaskan: "Indonesia adalah bangsa yang besar dengan warisan budaya yang kaya. Hidup damai dalam keberagaman adalah sumbangan berharga bagi dunia."
Kutipan itu menemukan relevansinya kini, ketika dunia justru menghadapi ancaman fragmentasi sosial, polarisasi politik, dan ekstremisme.
Indonesia dan Vatikan, meski berbeda ukuran dan basis kekuatan, sama-sama mempraktikkan diplomasi berbasis nilai yang semakin relevan.
Pancasila di Basilika Santo Petrus
Peringatan Misa Syukur di Basilika Santo Petrus pada 30 September 2025 mengingatkan kita bahwa diplomasi tidak hanya berbicara tentang kepentingan material, melainkan juga tentang nilai, solidaritas, dan perjumpaan lintas iman.
Persahabatan Indonesia-Vatikan yang telah berlangsung selama 75 tahun adalah bukti bahwa politik internasional dapat dirawat dengan semangat kemanusiaan.
Di Basilika Santo Petrus, Pancasila seakan hadir sebagai roh persahabatan itu. Dalam Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia mengajarkan dunia bahwa keberagaman adalah kekuatan.
Dan dalam diplomasi lintas iman, Indonesia dan Vatikan membuktikan bahwa nilai kemanusiaan universal mampu melampaui sekat-sekat ideologi maupun agama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI