Suara itu bergema sejalan dengan seruan Paus Fransiskus yang menyatakan, "Tidak ada perdamaian tanpa pengakuan atas hak kedua bangsa untuk hidup berdampingan dengan aman."
Indonesia dan Vatikan bahkan mendorong two state solution sebagai jalan keluar atas konflik berkepanjangan di tanah Arab tersebut.
Kedua, dalam isu ketahanan pangan global, kedua pihak sama-sama menekankan pentingnya solidaritas internasional untuk mengatasi kelaparan, kemiskinan, dan ketidaksetaraan ekonomi.
Vatikan dengan kekuatan moralnya, dan Indonesia dengan posisi strategisnya sebagai negara berkembang yang berpenduduk besar, berkontribusi membangun wacana tentang kemandirian pangan dan pembangunan berkeadilan.
Ketiga, pada isu hak asasi manusia (HAM), RI dan Vatikan seringkali berada dalam barisan yang menyerukan penghormatan terhadap martabat manusia.
Meski dengan pendekatan berbeda, keduanya menolak praktik-praktik yang melanggar prinsip kemanusiaan universal.
Diplomasi Lintas Iman dan Identitas Indonesia
Hubungan diplomatik dengan Vatikan juga mencerminkan karakter diplomasi Indonesia yang inklusif dan berakar pada nilai-nilai dasar bangsa. Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika menjiwai pendekatan ini.
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, membuka ruang bagi dialog dan persahabatan lintas iman. Sementara semboyan Bhinneka Tunggal Ika menjadi dasar sosial yang memungkinkan Indonesia tampil percaya diri di panggung global sebagai bangsa yang mengelola perbedaan dengan harmoni.
Tidak bisa diabaikan bahwa Indonesia memiliki komunitas Katolik yang cukup signifikan, sekitar 3 persen dari total penduduk atau lebih dari 12 juta jiwa di tahun 2024. Angka ini menempatkan Indonesia di posisi kedua setelah Filipina sebagai negara dengan populasi Katolik terbesar di Asia Tenggara.
Kehadiran umat Katolik di Indonesia menjadi jembatan alami dalam hubungan bilateral dengan Vatikan, sekaligus bukti bahwa Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya semboyan, melainkan realitas sosial.