Satgas ini bertugas menyusun rencana operasional penanganan pandemi, mengkoordinasikan kegiatan di tingkat kecamatan dan desa/kelurahan, memantau pelaksanaan kebijakan, serta melaporkan secara rutin kepada Satgas tingkat provinsi.
Di tingkat bawah, dibentuk pula Satgas di kecamatan, desa/kelurahan, dengan struktur lebih sederhana dan fokus pada pelaksanaan serta pengawasan langsung di lapangan.
Struktur ini diatur agar respons di kabupaten dan wilayah administratifnya berjalan terkoordinasi dengan baik serta mampu menyesuaikan dengan kondisi lokal dan kearifan setempat.
Oke, apakah Anda sudah mendapatkan gambaran tentang desain organisasional-nya? Sekarang, Anda bayangkan desain tersebut diterapkan ke dalam konteks program MBG dengan Desa/Kelurahan sebagai ujung tombak implementasi utama. Sudah terbayangkan bukan?
Permasalahan utama bukan sekadar teknis makanan
Data CISDI dan laporan lain menunjukkan pola sebaran yang luas dan berulang. Ini menandakan masalah struktural:
(1) lemahnya koordinasi vertikal dan horisontal antara pemerintah pusat (BGN), dinas pendidikan/kesehatan daerah, sekolah, dan penyedia makanan; (2) tidak adanya kepemilikan lokal terhadap standar operasional;
(3) insentif yang tidak selaras, pihak yang menyiapkan makanan tidak selalu bertanggung jawab terhadap mutu karena pengawasan longgar (masalah principal-agent); dan (4) ketiadaan sistem manajemen risiko dan audit makanan yang rutin (quality assurance).
Secara organisasional, pola ini konsisten dengan kegagalan mekanisme pengawasan pada program terdesentralisasi yang masih bergantung pada instruksi pusat tanpa kapasitas lokal yang memadai.
Bandingkan dengan praktik internasional yang relatif sukses
Negara-negara yang sukses implementasi program pangan sekolah menunjukkan beberapa karakter umum: standar keamanan pangan yang jelas (HACCP/adaptasi lokal), pelibatan partisipasi komunitas, rantai pasok lokal yang terverifikasi, dan sistem monitoring terintegrasi.