Misalnya, di Bekasi, bursa kerja yang seharusnya menjadi oasis harapan justru berujung ricuh karena kesemrawutan pengelolaan dan tingginya antusiasme pencari kerja.
Dorong-mendorong dan ketegangan hingga jatuh pingsan menjadi saksi bisu dari kerinduan mendalam rakyat akan pekerjaan yang layak.
Kerusuhan tersebut menyentak kita untuk sadar bahwa masalah pengangguran adalah luka sosial yang memerlukan penanganan serius dan menyentuh hidup manusia.
Demi sebuah pekerjaan, meski penuh risiko sebagai petugas pemadam kebakaran, puluhan ribu manusia berebut kuota yang sangat terbatas.
Kerja para petugas pemadam kebakaran bukanlah sekadar profesi, melainkan panggilan hidup. Mereka adalah orang-orang yang berlari ke arah api ketika yang lain menjauh.
Di tengah malam, sirene meraung memecah sunyi, membangunkan istri dan anak yang menatap pintu dengan doa.
Mereka tahu, setiap langkah menuju titik api adalah pertaruhan antara pulang atau menjadi berita duka esok pagi.
Mereka bukan hanya pekerja biasa; mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang rela mengorbankan nyawa di saat kobaran api mengancam keselamatan sesama.
Namun, di balik keharuman semangat itu, ada kisah getir tentang sulitnya mendapat pekerjaan yang layak, yang kini menjadi rebutan ribuan anak bangsa.
Fenomena ini mengingatkan kita bahwa pekerjaan bukan sekadar alat mencari nafkah; ia adalah penopang martabat dan harapan hidup.
Saat lebih dari dua puluh empat ribu orang berjuang untuk seribu kursi anggota damkar, kita harus bertanya: Apakah kita cukup peduli dan serius menciptakan ekonomi yang inklusif, yang menyerap tenaga kerja dengan adil dan bermartabat?