Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Peneliti Senior Swarna Dwipa Institute (SDI)

Sosialisme Indonesia. Secangkir kopi. Buku. Puncak gunung. "Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik" [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Menjaga Asa di Tengah Defisit Sensitivitas Pejabat Publik

13 Agustus 2025   21:11 Diperbarui: 14 Agustus 2025   07:34 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: angan bunga berisi kritikan dan kecaman terhadap Bupati Pati Sudewo yang diletakkan di depan kantor Bupati Pati, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Selasa (12/8/2025). (Foto: Kompas/P Raditya Mahendra Yasa)

Di tingkat pusat, pernyataan Sri Mulyani yang mempertanyakan apakah seluruh gaji guru dan dosen harus ditanggung negara memantik kritik luas karena dibaca sebagai pengingkaran mandat konstitusional atas layanan pendidikan.

Meski konteks fiskal bisa diperdebatkan, framing kalimat---di tengah timpangnya kesejahteraan pendidik---terasa abai.

Pernyataan Sri Mulyani ini dinilai kurang peka terhadap realitas gaji tenaga pendidik yang masih jauh dari layak, apalagi ketika dibandingkan dengan kekayaan pribadi pejabat bersangkutan.

Sementara itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang Nusron Wahid mesti mengklarifikasi dan meminta maaf atas pernyataan "semua tanah milik negara"---sebuah overstatement hukum yang sensitif, mengingat sejarah konflik agraria.

Pernyataan tersebut dianggap menyesatkan, berbahaya, dan berlawanan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan bahwa negara wajib melindungi hak rakyat atas tanah sebagai amanat Pasal 33 UUD 1945.

Situasi aksi demo 13 Agustus 2025 di depan kantor Bupati Kabupaten Pati (Foto: Murianews/Istimewa)
Situasi aksi demo 13 Agustus 2025 di depan kantor Bupati Kabupaten Pati (Foto: Murianews/Istimewa)

Kritik ini mengangkat isu klasik ketimpangan agraria dan kewajiban pejabat untuk menghindari retorika yang mengancam keadilan sosial.

Klarifikasi cepat menyelamatkan eskalasi, tetapi menegaskan kembali betapa riskannya lelucon pejabat tentang hak atas tanah.

Benang merahnya sederhana: komunikasi publik yang abai terhadap ethos of care mempercepat erosi legitimasi---bahkan saat kebijakan (sebagian) dikoreksi.

Dalam ekologi demokratik yang rapuh, satu kalimat dapat memperlebar jurang kepercayaan.

Fenomena ini memperlihatkan adanya defisit kepekaan sosial dan sensitivitas pejabat publik terhadap aspirasi masyarakat yang secara langsung mempengaruhi kepercayaan publik terhadap penyelenggara negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun