Di tingkat pusat, pernyataan Sri Mulyani yang mempertanyakan apakah seluruh gaji guru dan dosen harus ditanggung negara memantik kritik luas karena dibaca sebagai pengingkaran mandat konstitusional atas layanan pendidikan.
Meski konteks fiskal bisa diperdebatkan, framing kalimat---di tengah timpangnya kesejahteraan pendidik---terasa abai.
Pernyataan Sri Mulyani ini dinilai kurang peka terhadap realitas gaji tenaga pendidik yang masih jauh dari layak, apalagi ketika dibandingkan dengan kekayaan pribadi pejabat bersangkutan.
Sementara itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang Nusron Wahid mesti mengklarifikasi dan meminta maaf atas pernyataan "semua tanah milik negara"---sebuah overstatement hukum yang sensitif, mengingat sejarah konflik agraria.
Pernyataan tersebut dianggap menyesatkan, berbahaya, dan berlawanan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan bahwa negara wajib melindungi hak rakyat atas tanah sebagai amanat Pasal 33 UUD 1945.
Kritik ini mengangkat isu klasik ketimpangan agraria dan kewajiban pejabat untuk menghindari retorika yang mengancam keadilan sosial.
Klarifikasi cepat menyelamatkan eskalasi, tetapi menegaskan kembali betapa riskannya lelucon pejabat tentang hak atas tanah.
Benang merahnya sederhana: komunikasi publik yang abai terhadap ethos of care mempercepat erosi legitimasi---bahkan saat kebijakan (sebagian) dikoreksi.
Dalam ekologi demokratik yang rapuh, satu kalimat dapat memperlebar jurang kepercayaan.
Fenomena ini memperlihatkan adanya defisit kepekaan sosial dan sensitivitas pejabat publik terhadap aspirasi masyarakat yang secara langsung mempengaruhi kepercayaan publik terhadap penyelenggara negara.