Bagi sebagian lelaki, kehilangan pekerjaan merupakan pertanda separuh hilangnya harga diri.
Tubuh yang makin renta dengan rambut yang mulai memutih itu terlunta di pinggiran jalan, tersengat panas terik matahari dan menipisnya harapan untuk hidup yang lebih baik.
Mimpi-mimpi yang tertunda. Terbengkalai di pojok kamar kontrakan yang sudah jatuh tempo. Dikejar-kejar utang pinjol dan koperasi. Belum lagi variabel biaya sekolah anak yang tidak bisa ditunda.
Lalu sebagian mereka mulai tersesat, tak tahu kemana arah pulang. Kemudian tenggelam dalam luka dan duka yang tak terperi. Sudah puluhan job fair didatangi. Puluhan surat lamaran kerja dikirim.
Tak terbilang berapa banyak aplikasi lowongan kerja yang sudah diunduh.
Namun, tak sedikit laki-laki dan perempuan yang tetap berjuang dan kembali pulang, tak sudi diperolok keadaan. Pergi meninggalkan tembok ratapan untuk kembali menyusun mimpi-mimpi yang baru.
Ya! Sekali lagi, nasib saya mungkin tidak lebih baik dari puluhan ribu laki-laki dan perempuan pencari kerja yang berjam-jam berdiri berebut sejumlah lowongan yang semakin minim.
Benar kata seorang kawan. Hidup yang tidak dipertarungkan, tidak akan pernah bisa dimenangkan. Pada akhirnya, kita bertarung dengan sesama kita sendiri.
Manusia memang mahluk yang tak jera bermimpi, untuk kemudian mengingat seluruh mimpi yang pernah coba didaki.
Hingga kematian datang disuatu malam, siang, sore atau pagi. Demi kematian, setidaknya kita semua tak perlu bermimpi. Lagi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI