Kita juga bisa menafsirkan peristiwa ini dengan pendekatan Pierre Bourdieu, khususnya konsep habitus.
Habitus Prabowo yang terbentuk dari lingkungan intelektual, keluarga militer, dan ketegangan politik 1965-1969, menjadikannya sosok yang tidak tunggal secara ideologis.
Pendirian LSM menjadi momen di mana kapital simbolik (pengetahuan, jaringan) dibentuk sebelum ia memobilisasi kapital kekuasaan di kemudian hari.
Relevansi Kekinian: LSM, Aktivisme, dan Politik Indonesia
Kisah Prabowo dan Gie mendirikan LSM pada masa remaja menegaskan bahwa gerakan masyarakat sipil di Indonesia tidak lahir dari ruang hampa.
Ia merupakan hasil dialektika antara elite terdidik dan aktivis akar rumput, antara idealisme dan pragmatisme, antara moral force dan kepentingan politik.
LSM yang didirikan Gie dan Prabowo--meskipun tak banyak disebutkan Namanya--menjadi metafora penting: bahwa gerakan masyarakat sipil tidak imun dari kontestasi ideologis internal.
Dalam konteks Indonesia, LSM seringkali menjadi ruang sementara antara idealisme dan pragmatisme.
Keterlibatan Prabowo di masa mudanya menunjukkan bahwa gerakan sosial juga dapat menjadi training ground bagi elit masa depan, bahkan yang kelak memilih jalur negara sebagai instrumen perubahan.
Fenomena ini diamini dalam literatur seperti yang ditulis oleh Ariel Heryanto (2005) tentang cultural citizenship, yakni bahwa keterlibatan warga dalam gerakan sosial adalah praktik kewarganegaraan yang aktif dan bersifat performatif, bukan statis.
Maka, keterlibatan Prabowo harus dipahami bukan hanya sebagai episode biografis, tetapi sebagai praktik sosial yang menandai dinamika kelas menengah terdidik Indonesia dalam pergolakan politik modern.