Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Peneliti Senior Swarna Dwipa Institute (SDI)

Sosialisme Indonesia. Secangkir kopi. Buku. Puncak gunung. "Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik" [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Cermin Buram Pendidikan Nasional

2 Mei 2025   16:33 Diperbarui: 2 Mei 2025   16:33 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jalan Alternatif: Pendidikan Transformatif dan Lokalitas

Solusinya bukan hanya membangun gedung atau menggaji guru lebih layak (meskipun itu penting), tapi juga mereformasi paradigma.

Pendidikan harus berangkat dari konteks lokal, membangun kepercayaan budaya, dan mengintegrasikan pengetahuan lokal dengan sains global.

Program pendidikan kontekstual seperti Sekolah Adat di Kalimantan atau Rumah Belajar Komunitas di Sumba adalah contoh kecil dari pendekatan Freirean di Indonesia.

Mereka mengutamakan dialog, pembelajaran berbasis kehidupan, dan penghormatan pada identitas lokal.

Paulo Freire mengecam model pendidikan "banking" (guru sebagai depositor pengetahuan) dan menggantinya dengan pendidikan dialogis yang membangkitkan conscientizacao (kesadaran kritis).

Prinsip ini bertolak belakang dengan praktik di Indonesia, di mana kurikulum nasional kerap dipaksakan tanpa mempertimbangkan konteks lokal.

Model ini sangat relevan untuk konteks Indonesia, terutama di daerah-daerah tertinggal. Di Papua, misalnya, pendidikan yang terpusat di Jakarta sering kali gagal memahami konteks budaya lokal.

Bahasa pengantar yang tak dipahami, guru dari luar yang tak peka pada budaya setempat, dan kurikulum yang mengabaikan nilai-nilai lokal--semua ini membuat pendidikan menjadi alat kekuasaan, bukan alat pembebasan.

Tiga Kritik Freire terhadap Realitas Pendidikan Indonesia:

  1. Kurikulum Hegemonik: Kurikulum Merdeka belum sepenuhnya membebaskan guru dari tekanan administratif, justru memperkuat logika kompetisi ala neoliberal.
  2. Guru sebagai Otoritas Mutlak: Di NTT, 78% guru SMA tidak tersertifikasi, mencerminkan kegagalan negara dalam memberdayakan pendidik sebagai fasilitator dialog.
  3. Pendidikan yang Elitis: Program Indonesia Pintar (18,59 juta penerima) hanya bersifat karitatif, tidak menyentuh akar masalah seperti ketiadaan ruang partisipasi siswa dalam merancang pembelajaran.

Pendekatan Teoritik: Pendidikan Kritis dalam Bingkai Sosio-Konstruktivisme

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun