Jalan Alternatif: Pendidikan Transformatif dan Lokalitas
Solusinya bukan hanya membangun gedung atau menggaji guru lebih layak (meskipun itu penting), tapi juga mereformasi paradigma.
Pendidikan harus berangkat dari konteks lokal, membangun kepercayaan budaya, dan mengintegrasikan pengetahuan lokal dengan sains global.
Program pendidikan kontekstual seperti Sekolah Adat di Kalimantan atau Rumah Belajar Komunitas di Sumba adalah contoh kecil dari pendekatan Freirean di Indonesia.
Mereka mengutamakan dialog, pembelajaran berbasis kehidupan, dan penghormatan pada identitas lokal.
Paulo Freire mengecam model pendidikan "banking" (guru sebagai depositor pengetahuan) dan menggantinya dengan pendidikan dialogis yang membangkitkan conscientizacao (kesadaran kritis).
Prinsip ini bertolak belakang dengan praktik di Indonesia, di mana kurikulum nasional kerap dipaksakan tanpa mempertimbangkan konteks lokal.
Model ini sangat relevan untuk konteks Indonesia, terutama di daerah-daerah tertinggal. Di Papua, misalnya, pendidikan yang terpusat di Jakarta sering kali gagal memahami konteks budaya lokal.
Bahasa pengantar yang tak dipahami, guru dari luar yang tak peka pada budaya setempat, dan kurikulum yang mengabaikan nilai-nilai lokal--semua ini membuat pendidikan menjadi alat kekuasaan, bukan alat pembebasan.
Tiga Kritik Freire terhadap Realitas Pendidikan Indonesia:
- Kurikulum Hegemonik: Kurikulum Merdeka belum sepenuhnya membebaskan guru dari tekanan administratif, justru memperkuat logika kompetisi ala neoliberal.
- Guru sebagai Otoritas Mutlak: Di NTT, 78% guru SMA tidak tersertifikasi, mencerminkan kegagalan negara dalam memberdayakan pendidik sebagai fasilitator dialog.
- Pendidikan yang Elitis: Program Indonesia Pintar (18,59 juta penerima) hanya bersifat karitatif, tidak menyentuh akar masalah seperti ketiadaan ruang partisipasi siswa dalam merancang pembelajaran.
Pendekatan Teoritik: Pendidikan Kritis dalam Bingkai Sosio-Konstruktivisme