Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Peneliti Senior Swarna Dwipa Institute (SDI)

Sosialisme Indonesia. Secangkir kopi. Buku. Puncak gunung. "Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik" [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Cermin Buram Pendidikan Nasional

2 Mei 2025   16:33 Diperbarui: 2 Mei 2025   16:33 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana di SD YPPK St Agustinus di Manasari, Distrik Mimika Timur Jauh, Kab. Mimika, Papua, (4/3/2019). (Foto: Kompas/Priyombodo)

Di tengah gegap gempita peringatan Hari Pendidikan Nasional, realitas pendidikan Indonesia masih terbelah: kemajuan kurikulum berjalan paralel dengan ketimpangan akses dan praktik pedagogis yang menindas.

Wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) menjadi cermin buram dari kegagalan sistem pendidikan nasional dalam menjawab kebutuhan kontekstual masyarakat marjinal (Ombudsman, 2024).

Sementara itu, filosofi pendidikan Paulo Freire tentang pembebasan melalui kesadaran kritis justru semakin relevan untuk membongkar hegemoni kurikulum yang mengabaikan realitas sosio-kultural.

Kondisi Pendidikan di NTT dan Papua: Ketimpangan yang Terinstitusionalisasi

Menurut Perpres Nomor 63 Tahun 2020 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2020-2024 disebutkan daerah tertinggal adalah daerah kabupaten yang wilayah serta masyarakatnya kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional.

Merujuk pada Perpres tersebut, daerah tertinggal di provinsi NTT sebanyak 13 kabupaten, Papua Barat 8 kabupaten, dan Papua 22 kabupaten (Sergap.id, 2020).

Provinsi Nusa Tenggara Timur:

- Akses dan Mutu yang Terfragmentasi: Meski rasio guru di NTT mencapai 1:11 (lebih baik dari rata-rata nasional 1:36), hanya 22% guru SMA dan 28,7% guru SMK yang tersertifikasi. Fasilitas pendidikan rusak berat masih menjadi masalah utama, dengan 164 sekolah menengah terakreditasi A dari total 1.013 sekolah.

- Beban Ekonomi: Pungutan satuan pendidikan (Rp50.000--Rp200.000/bulan) memberatkan keluarga miskin, menyebabkan banyak siswa tidak bisa mengambil ijazah karena tunggakan (Ombudsman, 2024).

- Kesenjangan Teknologi: Hanya 10% sekolah di NTT yang memiliki akses internet memadai, memperlebar jurang literasi digital dengan daerah perkotaan.

- Anak Tidak Sekolah: Dari 1 juta peserta didik yang tersebar di 14.000 sekolah seluruh NTT, ada 130.000 anak yang tidak bersekolah (Kompas.com, 2024).

- Literasi yang rendah: Merujuk pada hasil Asesmen Nasional, yang mampu mencapai kompetensi minimal literasi hanya 22 per satuan Pendidikan.

Provinsi Papua:

- Data serupa menunjukkan 35% anak usia 7--12 tahun di Papua belum mengenyam pendidikan dasar akibat minimnya infrastruktur dan konflik sosial.

- Menurut laporan dari Wahana Visi Indonesia (WVI) Tahun 2023 cukup banyak siswa kelas 3 SD di Biak, Jayapuura, dan Jayawijaya yang belum bisa membaca (Kompas.id, 2024).

- Literasi dan Numerasi: Persoalan Pendidikan di Papua masih tetap sama sejak bertahun-tahun, salah satunya adalah kapasitas. Kemampuan literasi dan numerasi Papua di bawah 50 persen, padahall normalnya adalah 80 persen (Kompas.id, 2023).

Dalam teori Social Reproduction dari Pierre Bourdieu (1977), pendidikan kerap menjadi alat pelestarian ketimpangan sosial karena hanya mereproduksi modal kultural dan simbolik dari kelas dominan.

Siswa dari latar belakang miskin tidak hanya kurang sumber daya, tetapi juga kehilangan kepercayaan diri untuk bermimpi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun