"Tuhan tidak lelah mengampuni; kitalah yang lelah meminta maaf."-Paus Fransiskus, Misericordiae Vultus (2015).
Paus Fransiskus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik sedunia yang lahir dari rahim Amerika Selatan, menghembuskan napas terakhirnya pada pagi 21 April 2025, meninggalkan jejak spiritual yang dalam di tengah konflik kemanusiaan global.
Kematiannya pada pukul 07.35 waktu Roma bukan hanya akhir dari kepemimpinan seorang tokoh religius, tetapi juga penutup babak perlawanan terhadap ketidakadilan--khususnya dalam konflik Israel-Palestina yang telah menelan puluhan ribu nyawa.
Sebagai paus pertama dari Dunia Ketiga, Fransiskus tidak hanya mereformasi wajah Vatikan, tetapi juga menjadi suara bagi kaum miskin, migran, dan lingkungan hidup--sebuah komitmen yang menggetarkan kekuasaan sekaligus menginspirasi gerakan keadilan global.
Ia meninggal di Vatikan, dikelilingi oleh doa umat dari berbagai penjuru dunia, termasuk mereka yang tertindas dan tercerabut dari hak-haknya--seperti rakyat Palestina, yang selama ini ia bela dengan suara kenabiannya.
Spiritualitas Kerendahan Hati dan Perlawanan terhadap Ketimpangan
Lahir sebagai Jorge Mario Bergoglio (17 Desember 1936), ia memilih jalan pelayanan sebagai Jesuit sebelum terpilih sebagai Paus pertama dari Ordo tersebut pada 2013.
Kepemimpinannya ditandai dengan kesederhanaan, keberpihakan pada kaum marginal, dan keberanian menyuarakan kritik terhadap kekuasaan yang lalim.
Paus Fransiskus mengabdikan hidupnya pada prinsip "Gereja yang miskin untuk orang miskin", sebuah paradigma yang mengacu pada Teologi Pembebasan (Gutierrez, 1971) dan tradisi Ignatian.
Dalam konteks Indonesia, pemikirannya selaras dengan kritik struktural terhadap neoliberalisme, seperti yang dielaborasi oleh Arief Budiman (1995) dalam Teori Pembangunan Dunia Ketiga.