Menurutnya, tulisan mengubah cara manusia berpikir, menyusun informasi, dan membentuk memori kolektif.
Nah, dalam konteks Nusantara, bisa dibilang budaya tulis udah duluan membentuk cara berpikir elite kerajaan dan birokrasi jauh sebelum masyarakat luas mengembangkan tradisi lisan.
Selain itu, teori social memory dari Jan Assmann (1995) juga relevan. Ia membedakan antara communicative memory (ingatan lisan) dan cultural memory (ingatan yang diawetkan lewat media seperti tulisan).
Prasasti adalah bentuk konkret dari cultural memory Nusantara--lebih stabil, lebih tahan waktu, dan jadi dasar identitas kebudayaan yang bisa dilacak.
Ada anggapan bahwa budaya lisan lebih dominan di masyarakat tradisional. Tapi, arkeolog Indonesia seperti Boechari (1985) dalam penelitiannya bilang bahwa prasasti justru jadi alat legitimasi kekuasaan yang nggak bisa cuma lewat tuturan.
Teori Strukturalisme Levi-Strauss juga nunjukin bahwa tulisan muncul ketika masyarakat butuh rekaman permanen--kayak urusan pajak, perjanjian, atau ritual.
Di Jawa Kuno, prasasti Canggal (732 M) bahkan pake aksara Jawa Kuno buat nyatet pembangunan lingga oleh Raja Sanjaya. Bayangin, udah nulis pake aksara lokal, bukan impor!
Tradisi lisan emang jadi dasar komunikasi, tapi prasasti punya bukti fisik yang nggak bisa dibantah. Misalnya, prasasti Yupa dari Kutai ngebahas ritual sedekah raja Mulawarman pake aksara Pallawa.
Sementara, cerita lisan seperti I La Galigo dari Bugis baru terdokumentasi belakangan.
Budaya Tulis: Alat Kuasa dan Identitas
Penulisan prasasti bukan sekadar catatan random. Ada pola dan niat jelas: memperkuat kekuasaan, mendokumentasikan peristiwa penting, dan tentu aja membangun narasi sejarah yang resmi.