Court jester dengan segala tingkah dan polahnya, gimmick dan mimik, dalam pendekatan semiotika konotatif merujuk pada bentuk-bentuk seperti kata (words), gambaran (images), bunyi (sounds), dan gerak isayarat (gesture).Â
Hal itu, memberikan pemahaman kepada kita untuk tidak sekadar membatasi diri pada analisis secara semiosis belaka, tetapi juga mendalami makna dibalik court jester sebagai tanda berbagai gejala kemasyarakatan.
***
Bukan sembarang komedian. Abu Nawas, Nasruddin Khodja, Joseph 'Joey' Grimaldi dan Paul Birch adalah sedikit contoh court jester yang melawak dengan kecerdasan sosial tinggi dengan nyali besar untuk menyusupkan kritik-kritiknya kepada raja, mengungkap realitas kemasyarakatan melalui muatan-muatan humornya.
Mereka bukan court jester yang mengumbar lawakan-lawakan kejam saat rakyat miskin kesulitan mendapatkan beras murah, dalam kalimat-kalimat ganjil seorang pimpinan parlemen, "Jangan banyak-banyak makan-lah, diet sedikit tidak apa-apa."Â
Atau ujaran-ujaran yang bernada meremehkan lainnya, "sesama keluarga miskin besanan, kemudian lahirlah keluarga miskin baru". Atau si Fulan dengan kalimat yang merendahkan manusia lain, "sudah selesai evolusi belum kau?".
Teranyar: "Kurang enak pala lu pea!".
Paling anyar: "Ngantre ya dek? BPJS ya? Oh BPJS, masih honorer ya, kebetulan saya kan, emmm, saya nggak ngantre dek. Pasien prioritas."
Court jester di era digital memiliki latar belakang profesi apa saja, mulai dari selebritas, content creator, yutuber, pendengung, pegawai BUMN, hingga pejabat setingkat menteri.
Sebuah negeri yang sedang menuju kebangkrutannya mungkin membutuhkan jasa seorang court jester.
Agar praktik politik bagi-bagi kekuasaan di antara orang-orang kaya semata bisa berjalan tanpa gangguan, kemudian rakyat jelata dipaksa tertawa dan bertepuk tangan melihat polah pejabat.Â