Di era khalifah Harun al-Rasyid, khalifah kelima dari kekhalifahan Abbasiyah yang memerintah antara tahun 786 hingga 803, masyhur seorang pelawak istana bernama Abu Ali Al-Hasan ibn Hani Al-Hakami.Â
Sejatinya dia juga seorang pujangga besar dalam budaya Arab. Kita lebih mengenalnya dengan nama Abu Nawas. Court jester paling brilian sepanjang sejarah peradaban manusia.
Lahir di Kota Ahvaz, Persia, pada abad ke-8 Masehi. Konon, Abu Nawas adalah seorang wali Allah. Penyair Sufi yang jenaka.
Jika Abu Nawas awal dikenal sebagai peminum khamer, suka berfoya-foya, dan baru mendalami agama pada masa tua. Berbeda dengan Nasruddin Khodja yang dijuluki Sang Sufi Humoris.Â
Di balik kepiawaiannya menulis kisah-kisah humor, Khodja adalah seorang ulama, guru agama, sekaligus hakim yang sederhana dan hidup dalam kemiskinan.Â
Beberapa sumber sejarah menyebut, dia hidup pada abad ke-13 di Anatolia, Turki. Khodja dikenal dengan leluconnya yang cerdas, penuh makna filosofis dan memaksa penonton untuk berpikir.Â
Leluconnya tak jarang mengandung satire yang ditujukan kepada pemerintah saat itu. Saking populernya, bahkan UNESCO mengapresiasi karya-karya Khodja dengan menjadikan tahun 1996 sebagai Nasreddin Hoca Year.
***
Sebuah disertasi doktoral ditulis oleh Titi Surti Nastiti dengan teknik etnoarkeologi berjudul "Kedudukan dan Peranan Perempuan Dalam Masyarakat Jawa Kuna (Abad VIII -- XV Masehi)" menyebut pelawak dalam masyarakat Jawa Kuna dengan nama abanol/mabanol dan pirus/mamirus.
Apabila abanol/mabanol unsur lawakannya diekspresikan dalam gerakan-gerakan, sedangkan unsur lawakan pada pirus/mamirus diekspresikan melalui pemakaian kata-kata lucu oleh para pemainnya.