Mohon tunggu...
Rahadyan Tajuddien
Rahadyan Tajuddien Mohon Tunggu... Dosen Universitas Pamulang

Rahadyan Tajuddien adalah seorang akademisi dan praktisi di bidang pemasaran dan media sosial, yang saat ini berafiliasi dengan Universitas Pamulang. Dengan latar belakang pendidikan Mrketing Manajemen, ia memiliki fokus utama pada pengembangan strategi pemasaran digital dan komunikasi bisnis yang efektif. Sebagai peneliti aktif, Rahadyan telah memimpin berbagai studi yang menyoroti pengaruh media sosial terhadap perilaku konsumen. Salah satu penelitiannya menunjukkan bahwa media sosial memiliki dampak positif dan signifikan terhadap perilaku konsumtif mahasiswa di platform online marketplace. Selain kegiatan akademis, Rahadyan juga terlibat dalam program pengabdian masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing usaha kecil dan menengah (UKM). Melalui pelatihan dan pendampingan, ia membantu pelaku usaha memanfaatkan teknologi dan kreativitas dalam manajemen pemasaran, seperti penggunaan WhatsApp Business untuk optimalisasi pemasaran UMKM makanan. Rahadyan juga aktif dalam kegiatan edukasi di tingkat sekolah menengah, memberikan pemahaman tentang pentingnya media sosial sebagai sarana komunikasi bisnis dan pemasaran pribadi kepada siswa-siswi SMK. Kegiatan ini bertujuan untuk membekali generasi muda dengan keterampilan yang relevan dalam dunia bisnis digital saat ini. Dengan pendekatan yang integratif antara teori dan praktik, Rahadyan Tajuddien berkomitmen untuk terus berkontribusi dalam pengembangan ilmu pemasaran digital dan pemberdayaan masyarakat melalui edukasi dan penelitian.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

Marketing 1.0 : Era Produk sebagai Raja (1950-1970)

9 Juni 2025   11:35 Diperbarui: 9 Juni 2025   11:35 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Latar Belakang Sejarah: Lahirnya Paradigma Modern

Pada periode pascaperang dunia (1950-1970), dunia bisnis memasuki era produksi massal dan standardisasi. Ekonomi global sedang pulih, permintaan konsumen meledak, dan persaingan mulai menguat. Di tengah iklim ini, Philip Kotler---seorang ekonom lulusan University of Chicago dan MIT---memelopori pendekatan sistematis pemasaran melalui bukunya Marketing Management: Analysis, Planning, and Control (1967). Buku ini menjadi landasan Marketing 1.0, sekaligus mengubah pemasaran dari aktivitas ad hoc menjadi disiplin ilmu berbasis analisis.

"Tujuan pemasaran adalah mengenali dan memahami pelanggan sedemikian rupa sehingga produk atau jasa cocok dengannya dan terjual dengan sendirinya."
--- Peter Drucker, Bapak Manajemen Modern.

Tiga Pilar Marketing 1.0: Dominasi 4P

Marketing 1.0 berpusat pada 4P (Product, Price, Place, Promotion)---kerangka yang dipopulerkan Kotler meskipun awalnya dicetuskan Jerome McCarthy (1960). Model ini menjadi "kitab suci" bagi perusahaan:

1. Product sebagai Raja

  • Fokus pada keunggulan fungsional dan efisiensi produksi.
  • Contoh ikonik: Ford Model T (1908--1927). Henry Ford menyatakan, "Pelanggan boleh memilih mobil warna apa pun, asalkan hitam." Strategi standardisasi ini mendongkrak penjualan hingga 15 juta unit---rekor tertinggi saat itu.
  • Inovasi terbatas pada peningkatan teknis (ketahanan mesin, efisiensi BBM), bukan respons kebutuhan emosional.

2. Komunikasi Satu Arah

  • Iklan cetak/TV menjadi alat utama dengan pendekatan top-down.
  • Contoh: Kampanye iklan Coca-Cola tahun 1960-an yang menampilkan keluarga bahagia minum Coke---tanpa ruang untuk umpan balik konsumen.
  • Riset pasar minim; perusahaan mengandalkan asumsi produsen tentang "apa yang diinginkan pasar."

3. Segmentasi Kaku

  • Pasar dibagi berdasarkan demografi dasar: usia, jenis kelamin, lokasi geografis.
  • Misal: Mobil mewah hanya untuk pria dewasa berpenghasilan tinggi; produk rumah tangga untuk ibu rumah tangga.
  • Psikografi (gaya hidup, nilai personal) diabaikan.

Keterbatasan Fatal: Mengapa Model Ini Collapse?

Meski revolusioner di eranya, Marketing 1.0 tumbang oleh perubahan sosial dan ekonomi:

1. Konsumen Menuntut Hubungan Emosional

  • Generasi baby boomer (lahir 1946--1964) mulai mencari makna di balik produk. Mereka tidak puas sekadar "fungsional," tetapi ingin identitas dan ekspresi diri.
  • Studi Microsoft (1975) menunjukkan 68% konsumen lebih loyal ke merek yang "memahami nilai pribadi mereka."

2. Komunikasi Satu Arah Tidak Lagi Efektif

  • Munculnya gerakan hak konsumen (Ralph Nader, 1965) dan buku Hidden Persuaders (Vance Packard, 1957) menyoroti manipulasi iklan.
  • Konsumen ingin didengar: 70% mengeluh perusahaan tidak menyediakan saluran pengaduan.

3. Segmentasi Demografi Gagal Tangkap Keragaman

  • Perempuan masuk dunia kerja (1960-an), remaja jadi pasar potensial, dan kelas menengah berkembang.
  • Contoh kegagalan: Ford Edsel (1957). Segmentasi demografi tradisional gagal prediksi selera pasar, rugi $250 juta.

Marketing 1.0
Marketing 1.0

Tabel: Perbandingan Pendekatan Marketing 1.0 vs Kebutuhan Baru Konsumen 1970-an

Aspek

Marketing 1.0 (1950-1970)

Tuntutan Konsumen 1970-an

Fokus Produk

Fungsional, Standardisasi

Emosional, Personalisasi

Komunikasi

Satu Arah (Iklan Konsumen)

Dialog (Umpan Balik & Keluhan)

Segmentasi

Demografi (Usia, Gender, Lokasi)

Psikografi (Gaya Hidup, Nilai)

Role Marketing

"Departemen Penjualan"

"Pemimpin Riset Pasar"

Warisan untuk Pemasaran Modern: Apa yang Masih Relevan?

Meski dianggap kuno, Marketing 1.0 meninggalkan prinsip abadi:

  1. Disiplin Perencanaan
    Kotler memperkenalkan analisis SWOT dan model bauran pemasaran sebagai kerangka taktis---masih dipakai 98% perusahaan Fortune 500
  2. Fokus pada Value Creation
    Meski berorientasi produk, era ini meletakkan prinsip: "Buat nilai, baru jual". Prinsip ini menjadi jiwa Marketing 3.0 (nilai spiritual) dan 5.0 (teknologi humanis).
  3. Peringatan Dini tentang Risiko Inovasi
    Kegagalan Ford Edsel mengajarkan: inovasi tanpa riset pasar = bencana. Pelajaran ini mendorong lahirnya metode design thinking (1980-an).

20250608-1621-era-produk-raja-simple-compose-01jx7de8zkfrb9h33tars4e2yx-684662fbed64151b2a526b02.png
20250608-1621-era-produk-raja-simple-compose-01jx7de8zkfrb9h33tars4e2yx-684662fbed64151b2a526b02.png
Apa yang Bisa Dipelajari Marketer Masa Kini?

1. Jangan Abaikan "Suara Konsumen"

  • "Marketing 1.0 collapse karena memandang konsumen sebagai objek pasif. Padahal, merek terkuat dibangun dari ko-kreasi.".
  • Actionable insight: Gunakan social listening tools (e.g., Brand24) untuk identifikasi pain point konsumen real-time.

2. Integrasikan Data Kuantitatif & Kualitatif
Segmentasi demografi saja tidak cukup. Contoh sukses: Starbucks (1971) menggabungkan data geodemografi dengan studi gaya hidup "third place culture".

3. Produk Hebat Hanya Awal
Marketing 1.0 mengingatkan: produk fungsional unggul wajib, tapi tidak cukup. Bangun brand purpose seperti Patagonia (enviro-activism) atau Dove (body positivity).

Epilog: Dari "Produk sebagai Raja" menuju "Manusia sebagai Pusat"

Marketing 1.0 adalah cermin zamannya: efisiensi produksi dan disiplin analitis jadi senjata di pasar yang belum jenuh. Namun, keruntuhannya membuka jalan bagi Marketing 2.0 (customer-centric) dan 3.0 (human-centric). Kotler sendiri berevolusi: di buku terbaru Marketing 6.0: The Future is Immersive (2024), ia menekankan simbiosis teknologi-manusia---tanda bahwa roh "fokus pada manusia" tak pernah mati.

"Warisan terbesar Marketing 1.0 bukanlah 4P, tapi pengakuan bahwa pemasaran adalah ilmu dinamis... yang harus terus beradaptasi atau punah."
--- Philip Kotler, Wawancara dengan AMA (2024)


Author : Rahadyan Tajuddien

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun