Mohon tunggu...
Rachmat PY
Rachmat PY Mohon Tunggu... Penulis - Traveler l Madyanger l Fiksianer - #TravelerMadyanger

BEST IN FICTION 2014 Kompasiana Akun Lain: https://kompasiana.com/rahab [FIKSI] https://kompasiana.com/bozzmadyang [KULINER] -l Email: rpudiyanto2@gmail.com l IG @rachmatpy @rahabganendra

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Dear Wonny...

30 April 2023   01:40 Diperbarui: 30 April 2023   01:51 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI.  Sumber https://kumparan.com

Surat ini kutulis, satu hari setelah aku balek dari kampung halamanku, Jumat 29 April 2023. Bukan hanya curhatan tapi berisi harapan. Impian masa depan untuk kampungku nun jauh di sana.

Bogor, 30 April 2023

Assalamualaikum

Dear Wonny,  Kampung Halamanku.

Halo Wonny. Aku gak akan nanya kabarmu. Soalnya kemarin kita baru bertemu. Meski cuma dua minggu. Di momen mudik tahun ini yang barusan berlalu.

Tak apa kan aku masih saja selalu memanggilmu Wonny?
Nama kesayangan itu kusingkat dari nama panjangmu. Seperti halnya Wonogiri yang kusebut dengan Wonogiren itu.
Kamu tetap, kampung halaman yang selalu kurindu.

Ya kurindu. Rindu karena kamu adalah...

... tempat bermain masa kecilku.
... tempat merangkai kenangan masa lalu.

... tempat bermanja dengan bapak ibu dan orang-orang terkasihku.

... tempat membingkai karakter pribadiku dari kearifan cinta kasih orang-orang di tanahmu.

Kamu yang menjadikanku, seperti saat ini.

Wonny...

Aku senang, dua minggu kemarin bersamamu. Senang kamu baik-baik saja, seperti yang dulu.
Ya, seperti yang dulu. Semua masih seperti dulu.
Lapangan kampung tempat dulu aku berlari mengejar bola, masih seperti dulu.
Tiang gawangnya, lintasan larinya, sampai rumput-rumputnya. Seperti dulu. Tumbuh liar di sana sini. Tumbuh tak beraturan. Gak apa, meski kamu seperti tak terawatt, tapi penampilanmu membuat masa lalu itu masih terpampang jelas.
Lalu patung itu. Patung Jenderal Sudirman nan megah di tengah kampung, masih seperti dulu. Telunjuk menunjuk ke arah barat. Dengan keris tergenggam di tangan kiri. Sama kusamnya dengan masa lalu.

Tak apa. itu membuat noktah-noktah masa lalu, vektor  garis masa dulu masih nampak goresannya.

Lalu hutan itu. Hutan di seberang rel kereta api di pinggiran kampung. Masa laluku nampak terhapus di sini.  Pepohonan keras yang dulu menjulang tinggi, rindang dan teguh, berganti dengan lahan-lahan ladang. Mahoni berganti singkong, Meranti berubah menjadi jagung. Tak apa, selama masih berupa komoditi yang menghidupi.

Lalu bakso lehendaris "ndeso" itu. Bakso Pak Mento di seberang SMKN 1 Wonogiriitu. Cita rasa, gerobak, masih seperti dulu. Membawa kelezatan yang sama dari waktu ke waktu.

Hanya satu yang berubah. Guratan usia di tangan, kaki, dan wajah peraciknya, Pak Mento yang makin berkerut. Dimakan waktu yang tak bisa dibendung oleh bertambah usia.
Tak apa itu keniscayaan. Yang penting, Pak Mento setia menjamu dengan bakso daging bertabur gajih yang mengambang memenuhi mangkok Miwon putih itu.

Wonny...

Aku sadar, perubahan adalah kepastian. Begitu pula dirimu. Tanah-tanah gembur berganti jalanan ekonomi. Hutan-hutan sepi berubah menjadi rumah-rumah hunian asri. Udara sejuk menyegarkan, berubah sedikit terik menyengat, menggerahkan.

Tak apa itu, aku paham dan rela, itu keniscayaan.

Hanya saja, aku tak akan rela, bila....

Ibuku dan perempuan-perempuan di seluruh kampungku itu, menggugu. Menangis tersedu, kala perut menahan lapar dari matinya sumbu-sumbu. Sumbu-sumbu dapur mata pencaharian, yang tergerus oleh modernisasi yang melaju.

Sungguh jangan biarkan terjadi itu.

Sungguh jangan campakkan para ibu itu.

Wonny....

Aku rela dan bahagia. Senyum pengusaha kecil itu terkembang di sepanjang jalan utama kampung yang makin ramai. Ramai oleh pembeli-pembeli itu.
Jalanan berpucuk panorama Gunung Gandul di kejauhan itu, seperti menjadi sumbu-sumbu baru. Dengan dagangan aneka makanan lezat racikan tangan-tangan bersahaja, orang-orang kampungku.

Wonny....

Aku senang, kumandang adzan dari masjid besar kampungku, Al Hidayah masih lantang berseru. Menyelusup ke telinga para warga   hingga kampung-kampung tetangga.

Melewati ruang-ruang kerukunan di mimbar-mimbar gereja. GKI Jawa sampai Tiberias.  

Sama seperti saat Minggu pagi, lantunan lagu-lagu kasih rohani mengalun ke ruang piblik di sekitar gereja-gereja itu.

Aku tau, itu kondisi yang sudah lama terpelihara. Tanpa masalah. Tanpa merasa saling terganggu. Aku bahagia, kerukunan dan toleransi hidup subur di ruang-ruang publik kampungku.

Wonny....

Aku mau berpesan padamu. Pada saudara-saudara sekampungku. Tahun politik sudah akan kita jelang. Pesta Pemilu sebentar lagi akan kita rayakan. Aku berharap, semua berpesta dengan sukaria. Tanpa meributkan perbedaaan dan SARA.

Nikmati saja dengan Bahagia. Tanpa embel-embel, siapa yang paling... siapa yang layak menang. Pilih, pilih saja sesuai nurani dengan saling menghormati dan menghargai.

Wonny...

Jaga momen-momen yang ada pada dirimu. Momen kita yang semua akan menjadi masa lalu. Momen yang membuatku tersenyum, tertawa, tak berkesudahan seperti masa-masa itu.

Momen yang juga membuatku menangis bahagia, mengingat masa lalu di tanahmu.  

Wonny...

Sudah dulu ya Wonny. Kapan-kapan kita sambung lagi. Tentram dan adem selalu dirimu di sana.

Wasalamualaikum

Peluk erat.
Dariku, anak kampung masa lalumu.

@rachmatpy

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun