Mohon tunggu...
Rachmat PY
Rachmat PY Mohon Tunggu... Penulis - Traveler l Madyanger l Fiksianer - #TravelerMadyanger

BEST IN FICTION 2014 Kompasiana Akun Lain: https://kompasiana.com/rahab [FIKSI] https://kompasiana.com/bozzmadyang [KULINER] -l Email: rpudiyanto2@gmail.com l IG @rachmatpy @rahabganendra

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

"Pupuk Kesuburan" Nasionalisme Itu Bernama TV Digital

19 Agustus 2021   18:46 Diperbarui: 20 Agustus 2021   06:46 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi TV Digital. (Sumber gambar https://kominfo.go.id/)

Siaran media elektronik, seperti televisi dan radio paling memungkinkan diakses dengan mudah di wilayah perbatasan negara. Siaran kedua media elektronik itu mampu menembus batas-batas wilayah kedaulatan masing-masing negara. Segala materi informasi "asing" dari beragam konten, saling "dinikmati" oleh warga perbatasan setempat.  

Petang semakin karam. Malam menjelang di Pulau Kopak, sebuah pulau kecil di wilayah Provinsi Kepulauan Riau. Aku belum lelap. Ini malam pertamaku berkunjung ke pulau yang berdurasi sejam perjalanan laut dari Pulau Batam, naik "pompong". 

Pompong, sebuah perahu kayu kecil ditempel mesin di buntut perahu. Biasa digunakan warga pulau-pulau sebagai sarana transportasi, disamping perahu dayung. 

Malam itu aku masih di teras rumah khas nelayan milik Paman Acai. Rumah kayu di atas air pantai, yang sudah tua. Selepas mata memandang, gelap malam, langit dan kerlip bintang. Beberapa lampu bertenaga genset, redup di beberapa titik di luar rumah. Bersahitan terdengar harmoni suara hewan malam dan riak-riak air laut menerpa kayu penyangga pelantar, rumah serta deretan pohon bakau di bibir pantai. Masih teringat jelas momen-momen di pulau itu, meski sudah bertahun telah lewat. 

Di ruang tengah, televisi menyala. Itu salah satu hiburan keluarga Paman Acai, selain radio. Radio menjadi pilihan saat siang hari. Sementara televisi, menjadi pilihan tontonan saat malam hari, selepas seharian menangkap ikan, ataupun beraktivitas lainnya. 

Aku sesekali melihat siaran televisi itu. Sesekali saja, karena aku tidak paham. Tidak paham bahasa pengantar Mandarin yang digunakan dalam siaran itu. Maklum saja itu salah satu channel televisi dari stasiun TV tetangga. Singapura. Itu saluran pilihan yang dirasakan lebih nyaman untuk ditonton, karena terbatasnya  siaran TV lokal maupun siaran TV nasional yang bisa ditangkap di rumah itu. Lagian kualitas gambarnya kurang bagus, buram, goyang, tak stabil, bahkan "menyemut".

Ada beberapa siaran televisi analog maupun radio dari Singapura dan Malaysia yang frekuensi jangkauan siarnya, menjangkau wilayah pulau ini. Sajian kualitas gambar dan audionya pun termasuk nyaman untuk ditonton. 

Maklum saja, jarak pulau tak terlampau jauh dengan negeri seberang. Asal tahu saja, dari Pulau Batam kalau naik kapal ferry dari Pelabuhan Batam Centre, Batam misalnya, hanya sekira 45an menit saja. Dekat. 

Sepengalamanku selama bermukim di Batam dulu, siaran radio dan televisi di tiga negara berbatas laut, Indonesia, Singapura dan Malaysia, memang menjadi konsumsi warga di wilayah Kepulauan Riau, seperti di Batam, Tenjung Pinang, Tanjung Balai Karimun dan pulau-pulau kecil di sekeliling pulau-pulau besar itu.  

"Power" pemancar  siaran analog yang 'kuat' memungkinkan siaran menembus sampai seberang lautan dengan mudah. Jika kekuatan pemancar lemah maka jangkauannya juga semakin dekat. Lagipula itu mempengaruhi kualitas siaran, kejernihan gambar, dan audio. Konon lembaga penyiaran kita khususnya di perbatasan memiliki pemancar yang tak sebanding dengan stasiun pemancar negeri seberang.  

Dengan pemancar yang kuat, beragam materi siaran pun terakses dengan mudah. Mulai dari hiburan, lagu-lagu negeri seberang sampai dengan informasi ekonomi, sosial, budaya asing yang disiarkan media elektronik terkait. Padahal materi siaran dari media yang berfungsi bukan saja sebagai penyalur informasi, namun juga edukasi. Lalu bagaimana dengan edukasi soal kebangsaan, nasionalisme, jika yang ditonton adalah siaran televisi negara tetangga? 

Itu pula tontonan televisi yang dikonsumsi Paman Acai dengan istri dan anak-anak usia sekolahnya. Setiap hari. 

Dari latar belakang sisi sosial budaya sudah berbeda. Mungkin hal terkecil dilihat dari sajian lagu-lagu berbahasa Indonesia dengan muatan "rasa kebangsaan" Indonesia yang tak ditemui di siaran media asing. Atau seberapa jauh mereka mengenal geografi Indonesia? Dimana Pulau Bali? Dimana Pulau Papua? Mengenal suku-suku lain di nusantara? Atau bisakah menyanyikan lagu Kebangsaan Indonesia? Mengingat belum tentu anak-anak mereka mengenyam pendidikan sekolah. 

Hal yang lebih penting lagi, bahasa Indonesia yang digunakan dalam bahasa  pengantar dalam siaran, bisa semakin mengenalkan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan disamping bahasa ibu yang mereka gunakan sehari-hari. Soalnya tak jarang warga di perbatasan dengan pendidikan rendah, yang kemampuan bahasa Indonesianya masih memprihatinkan. Mereka lebih mengenal bahasa ibu yang digunakan dalam percakapan sehari-hari dalam keluarga, dan komunitas lingkungan kecilnya. 

Ilustrasi. (Sumber gambar https://siarandigital.kominfo.go.id/)
Ilustrasi. (Sumber gambar https://siarandigital.kominfo.go.id/)
Potret Nasionalisme Warga Perbatasan 

Mengukur kadar nasionalisme warga perbatasan tentu tak bisa kasat mata. Pandangan berbeda-beda sah-sah saja. Ada yang beranggapan rasa nasionalisme pada warga perbatasan itu rapuh, tipis. Atau pandangan sebaliknya. Tak bisa disalahkan dan sekaligus belum tentu benar. Banyak faktor pemicu, yang bisa memperlemah ataupun memperkuat rasa nasionalisme warga perbatasan, khususnya.

Kalau menyitir pandangan M. Ishaq, dalam Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 17, Nomor 6, Oktober 2011, berjudul "Pembinaan Nasionalisme Pemuda Perbatasan melalui Program Pendidikan Luar Sekolah," melihat bahwa buruknya kondisi sosial-ekonomi di perbatasan mengakibatkan rasa nasionalisme masyarakat bisa menurun. 

"Kondisi sosial-ekonomi di perbatasan yang terpuruk mengakibatkan masyarakat setempat tergantung kepada negara tetangga. Pada gilirannya, ketergantungan kepada negara tetangga itu mengakibatkan rasa nasionalisme masyarakat tersebut mengalami penurunan." (M. Ishaq)

Kondisi berbeda, bolehlah menengok kondisi masyarakat di perbatasan yang populer diklaim sebagai daerah, "1 persen miniatur surga di bumi Tuhan di Kalimantan," yakni Krayan, Nunukan, Kalimantan Utara. Kenyataan yang diungkap Syafuan Rozi dari Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.  

Mengutip tulisan jurnal 2014 yang ditulis Syafuan Rozi berjudul, " Potret Rasa Kebangsaan di WIlayah Perbatasan Indonesia-Malaysia: Kasus Desa Long Nawang Malinau dan Krayan Nunukan, Kalimantan Utara."  Syafuan Rozi mencatat pernyataan Kepala Desa Long Betaoh Lah Bilong, yang  menyatakan bahwa rasa kebangsaan masyarakat perbatasan di wilayah Desa Betaoh masih tetap dapat diandalkan. 

Hematku, apapun kondisinya, menguat atau melemahnya rasa nasionalisme warga perbatasan, tentu saja harus dilakukan dengan upaya merawat, memelihara dengan beragam cara. Jika kondisi ekonomi menjadi pemicu, tentu perbaikan ekonomi menjadi solusi. 

Demikian pula jika sosial, budaya, jika menjadi penyebab, maka solusi edukatif harus dikedepankan. Bukan saja melalui jalur pendidikan, namun juga akses informasi melalui media. Dengan mudahnya menjangkau sarana media, maka menimbulkan "rasa kedekatan" antara warga dengan negara, yang secara otomatis bisa memupuk rasa nasionalisme  warga perbatasan khususnya. 

Siaran TV Digital dan Sarana Edukasi  

Media televisi bukan sarana yang asing bagi masyarakat tanah air. Kalau melihat di pelosok-pelosok desa, televisi sudah bukan barang mewah lagi, tapi sudah menjadi kebutuhan primer. Ini menempatkan siaran televisi menjadi sarana yang efektif untuk edukasi kepada warga negara melalui siaran, sesuai fungsinya. Siaran mencakup materi soal kebangsaan. 

Fungsi media pers memiliki peran penting dalam menyampaikan konten-kontennya. Seperti diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.  Pasal 2 butir 1 dan 2 menyebutkan bahwa: "(1) Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. (2) Di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi."

Ilustrasi TV Digital. (Sumber gambar https://siarandigital.kominfo.go.id/)
Ilustrasi TV Digital. (Sumber gambar https://siarandigital.kominfo.go.id/)

Siaran TV Digital Memupuk Nasionalisme  

Siaran televisi saat ini adalah siaran sistem TV analog yang sudah hampir 60 tahun eksis. Selama itu pula kekuatan sarana pemancar menjadi tumpuan utama menjangkau daerah-daerah layanan. Ketergantungan dengan pemancar membuat siaran tidak merata diterima oleh warga. Blank spot pun banyak terjadi.  

Terkait jangkauan layanan ini, mengutip pernyataan Direktur Penyiaran Ditjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kominfo, Geryantika Kurnia, menyampaikan, eksisting TV analog jangkauannya hanya 68 persen wilayah layanan di Indonesia. Sementara, sebanyak 38 persen wilayah menurut Gery, masih blank spot. (Sumber: Kompas.com, 20/06/2021, "Kelebihan TV Digital Dibanding Analog, Berikut Jangkauan Sinyalnya")

Sementara dengan TV analog, semakin jauh dari pemancar semakin jelek siaran TV-nya. Bisa dibayangkan, jika kualitas siaran  TV jelek, membuat tidak nyaman, maka pemirsa akan dengan mudah berpindah ke saluran TV lain. Tak mustahil, warga di perbatasan akan berpindah channel ke saluran TV negeri tetangga.  

Nah, siaran TV digital sangat berbeda dengan TV analog. Siaran TV Digital menggunakan modulasi sinyal digital dan sistem kompresi yang akan menghasilkan gambar dengan kualitas yang lebih bersih, suara dengan kualitas yang lebih jernih, dan teknologi yang semakin canggih. Tentu saja kualitas seperti ini, akan membuat pemirsa nyaman dalam menikmati siaran. 

Secara teknis pun warga yang akan menggunakan layanan TV digital dimudahkan. 

TV digital bukanlah TV streaming yang harus menggunakan perangkat dengan koneksi internet. TV digital juga bukan TV berlangganan lewat kabel atau satelit, TV Box atau Smart TV yang terhubung ke internet. TV digital juga bukan TV satelit yang harus menggunakan parabola. 

Penerimaan siarannya lewat antenna UHF seperti TV analog. Tidak perlu berlangganan. Namun kualitas gambar dan suaranya superior, tidak berbintik atau kabur saat sinyal lemah. Cukup mudah dan ekonomis bagi warga pemirsa. Lebih lengkap bisa dibaca di situs situs Siaran digital Kominfo di sini: https://siarandigital.kominfo.go.id/

Jika siaran sudah nyaman dinikmati, tentu harus diikuti oleh konten-konten yang berkualitas. Keragaman konten akan sangat dimungkinkan. Industri kreatif akan dimanjakan karena mendapat ruang-ruang  ketersediaan tempat dalam program-programnya. Siaran konten lokal yang sarat dengan gaung nasionalisme terbuka lebar karena daya tampung siaran TV Digital dalam satu kanal bertambah. Ini juga momentum buat tumbuh berkembangnya siaran TV lokal. Bisa dibayangin, betapa beragamnya program siaran dengan adanya TV digital. Luar biasa. 

Nah, semoga saja setelah siaran TV digital hadir paling lambat pada 2 November 2022 mendatang, area perbatasan menjadi salah satu yang turut menikmatinya. Warga pinggiran negeri, semakin terjangkau bisa menikmati siaran produk "dalam negeri" dengan kualitas lebih bagus. 

Dengan demikian berharap Paman Acai di Pulau Kopak, dan saudara-saudara di perbatasan lainnya, merasakan "negaranya" hadir dalam jarak dekat. Dampaknya bisa semakin terjaga rasa nasionalisme-nya yang diimplementasikan dalam gaya hidup sehari-hari. 

Semoga saja. 

Penulis: Rachmat Pudiyanto
IG/ Twitter: @rahabganendra 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun